Oleh: Abdul Khoir
Tepat pada tanggal 19 Mei 2020 penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tingkat Jawa Barat dinyatakan tidak diperpanjang pemberlakuannya. Pencabutan PSBB Jawa Barat tersebut disampaikan Ridwan Kamil sehari sebelum berakhirnya masa penerapan, namun pencabutan status pemberlakuan PSBB bukan berarti wilayah Jawa Barat telah melewati masa kritis penyebaran pandemik Covid-19 atau adanya peralihan status zona merah corona menjadi zero penularan corona yang biasa dikategorikan sebagai wilayah zona hijau.
Dari 27 kabupaten/kota yang ada di Jawa Barat masih terdapat wilayah yang menyandang predikat zona merah. Status zona merah virus corona misalnya masih belum lepas dari Kabupaten Cirebon, bahkan dari keterangan Kepala Dinas Sosial Kabupaten Cirebon dalam diskusi virtual yang digelar OTDA ICMI Kabupaten Cirebon, daerah yang dipimpin H. Imron tersebut berada pada posisi zona merah level empat (4).
Kondisi faktual yang melekat pada Kabupaten Cirebon, pada akhirnya direspon Bupati dengan cara mengumpulkan Forkopimda. Rapat pimpinan lintas sektoral merekomendasikan perpanjangan pelaksanaan PSBB di Kabupaten Cirebon sampai tanggal 29 Mei 2020.
Menjadi menarik dikaji dalam perspsektif hukum mengingat perpanjangan PSBB akan diputuskan Bupati dengan landasan Badan Nasional Penanggulanagan Bencan. Sementara rekomemdasi pelaksanaan PSBB yang dikeluarkan Menteri Kesehatan RI untuk Jawa Barat dinyatakan tidak digunakan kembali, pertanyaanya apakah pemberhentian penerapan PSBB dapat ditetapkan secara sepihak dari daerah yang sebelumnya mengusulkan pelaksanaan PSBB kepada Menteri Kesehatan RI?
Dan jika payung hukum pelaksanaan PSBB yang berlaku di Jawa Barat telah dinyatakan tidak diperpanjang lagi, lantas kepala daerah kabupaten/kota di Jawa Barat yang memperpanjang masa pemberlakuannya absah secara hukum? Karenanya rencana pelaksanaan PSBB jilid II di Kabupaten Cirebon menurut penulis, merupakan diskursus penting dalam kerangka berpikir logika hukum yang perlu dipertanyakan.
Prosesur Pelaksanaan PSBB
Membincang pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) baik tingkat nasional maupun lokal daerah ditinjau dari aspek rujukan hukum yang menjadi dasar sistemik pemberlakuannya tidak dapat lepas dari ketentuan peraturan yang tertera secara jelas dalam Peraturan Pemerintah No. 21/20202 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Dokumen aturan hukum berjumlah 7 pasal tersebut salah satunya mengatur mekanisme atau prosedur penerapan PSBB. Pada tingkat nasional, penerapan PSBB dapat diusulkan oleh Gugus Tugas covid-19 nasional kepada Menteri Kesehatan.
Selain berdasarkan usulan yang disampaikan Gugus Tugas Covid-19, prosedur keputusan penerapan PSBB secara nasional juga dapat dilandaskan pada pertimbangan Menteri Kesehatan terhadap perkembangan situasi ancaman kesehatan yang disebabkan wabah virus corona.
Melihat dua mekanisme yang harus ditempuh pemangku kebijakan pemerintah sebelum memutuskan pembarlakuan PSBB tingkat nasional, secara sederhana dapat diartikan bahwa kunci penerapan PSBB berada ditangan pertimbangan faktor kesehatan menurut Menteri Kesehatan RI. Penjelasan tersebut menemukan relevansinya terutama pasal 5 PP No. 21/2020.
Dalam rangka mengakomodir kepentingan pemgambil kebijakan pemerintah daerah menghadapi virus corona sekaligus merupakan langkah antisipatif penerapan PSBB parsial kedaerahan, pemberian ruang usulan yang disampaikan pemerintah daerah kepada Menteri Kesehatan dapat digunakan sebagai alternatif yang dapat digunakan secara legal formal. Hal ini diatur dalam pasal 6 PP No. 21/2020.
Selain mengatur prosedur usulan PSBB, PP No. 21/2020 juga menyinggung ruang lingkup cakupan sasaran PSBB, ketentuan umum dan definisi sejumlah istilah, kriteria pembatasan dan kewenangan gugus tugas percepatan penanganan corona virus disease 2019 atau covid-19 merupakan objek hukum yang termaktub dalam PP a quo.
Di Jawa Barat sendiri, penerapan PSBB dimulai sejak diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/289/2020 pertanggal 1 Mei 2020 atas dasar usulan yang dilayangkan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Pasca munculnya rekomendasi Menteri Kesehatan, pada tanggal 4 Mei 2020 Gubernur Jawa Barat menetapkan Peraturan Gubernur No.36/2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanggulangan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Di Wilayah Provinsi Jawa Barat.
Keabsahan Perpanjangan PSBB
Pada tanggal 19/5/2020 disela-sela diskusi virtual yang diselenggarakan OTDA ICMI Kabupaten Cirebon, Bupati Kabupaten Cirebon menyampaikan rencana kegiatan rapat bersama forum komunikasi pimpinan daerah (forkopimda). Sesaat setelah rapat evaluasi tersebut beredar kabar keputusan perpanjangan masa pelaksanaan PSBB Kabupaten Cirebon sampai tanggal 29 Mei 2020 mendatang.
Selanjutnya forum rapat merekomendasikan Bupati agar menerbitkan Surat Keputusan pelaksanaan PSBB jilid II dengan merujuk ketentuan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Layaknya sebuah kegiatan evaluasi tentu menginventarisasi daftar kekurangan dan memformulasikan rumusan yang akan diterapkan terkait tindakan aplikatif PSBB.
Adapun reformulasi itu diantaranya memuat keputusan guna memperkuat tenaga medis/kesehatan dengan memberikan pelatihan agar memiliki keahlian dalam melakukan swab test. Pembentukan tim reaksi cepat (tim pemburu) terhadap orang yang terkonfirmasi Covid-19 agar segera dipisahkan dalam upaya memutus mata rantai penularan.
Tetap mengaktifkan checkpoint dengan mengalihkan beberapa checkpoint di kecamatan yang masuk zona merah. Untuk di Kabupaten Cirebon sendiri, terdapat tujuh kecamatan yaitu Kedawung, Plumbon, Sumber, Panguragan, Babakan, Sedong dan Palimanan. Pembatasan Sosial Berskala Besar jilid II mengedepankan indikator prilaku hidup bersih dan sehat, memperkuat tim sosialisasi, memperbanyak tempat cuci tangan dan pendukung lainnya.
Keputusan tersebut menyandarkan pada keputusan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No.13A/2020 tentang penetapan masa tanggap darurat. Dan seluruh hasil rapat tersebut akan dituangkan dalam surat keputusan Bupati.
Rentetan panjang daftar rencana kerja konkrit yang akan dilakukan pemerintah daerah dalam menangani pandemik virus corona di Kabupaten Cirebon, penulis menilai sedang berlangsung evaluasi serius terhadap pelaksanaan PSBB pertama yang berlaku seluruh wilayah Jawa Barat.
Hanya saja, apresiasi tersebut tidak membuat keteguhan perspektif dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, hal ini semata-mata disebabkan masih terdapat beberapa catatan terutama terkait prinsip negara hukum. Pada setiap kebijakan yang diambil penyelenggara pemerintahan include pemerintah daerah tidak boleh terlepas dari kewenangan atributif dan/atau distributif yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Sehingga pada gilirannya tercipta tata kelola pemerintahan yang mencerminkan good governance dan tidak terseret dalam kubangan praktik abuse of power.
Menelisik kebijakan PSBB lanjutan yang diterapkan pemerintah Kabupaten Cirebon, ditemukan beberapa poin yang patut dipersoalkan, pertama mengenai rujukan regulasi yang dijadikan panduan perpanjangan PSBB. Sejak awal kemunculan kebijakan PSBB di Kabupaten Cirebon, penulis mempersoalkan 8 poin Perbup No. /2020, kerancuan rujukan hukum semakin nampak ketika perpanjangan kebijakan PSBB disandarkan pada surat keputusan yang dikeluarkan BNPB, mmestinya PP No. 21/2020 yang sijadikan referensi hukum PSBB.
Kedua, penambahan durasi waktu diputuskan dalam dokumen Surat Keputusan. Sulit diterima konsepsi teoritik kewenangan jika kemudian Surat Keputusan perpanjangan PSBB jadi diluncurkan pemerintah daerah. Pasalnya dalam kerangka pelaksanaan PSBB di Kabupaten Cirebon tidak ada peraturan aplikatif yang memberikan atribusi kewenagan guna menerbitkan dokuken hukum berupa surat keputusan.
Ketiga, perpanjangan PSBB di Kabupaten Cirebon dinilai unprosedural. Mekanisme pemberlakuan PSBB di daerah dapat diterapkan pemangku kebijakan lokal seperti Bupati Kabupaten Cirebon dengan catatan usulan pelaksanaan PSBB telah memperoleh “restu” dari pemerintah pusat melalui Menteri Kesehatan. Selain itu tidak relevan jika perpanjangan PSBB dari kebijakan PSBB yang sebelumnya berlaku selama dua minggu di seluruh Jawa Barat.
Keempat, izin Gubernur Jawa Barat dijadikan salah satu argumentasi penerapan PSBB jilid II. Narasi “izin Gubernur” dalam makna koordinasi sekaligus konsultasi pemerintah tingkat kabupaten terhadap atasan vertikal pertama dalam penyelengara pemerintahan sah-sah saja. Namun, “izin Gubernur” dalam hukum bukan merupakan entitas yang memperoleh kewenangan untuk melarang dan/atau mengizinkan pelaksanaan perpanjanagan PSBB. Dan kelima, jika kebijakan ini tetap dijalankan dengan kerapuhan rujukan regulasi, sejatinya pemerintah daerah telah mempertontonkan penyelenggaraan pemerintahan jauh dari prinsip negara hukum yang dianut Indonesia.
Kesimpulan dan Saran
Perpanjangan masa pelaksanaan PSBB di Kabupaten Cirebon yang telah diputuskan pemerintah daerah sebagai kelanjutan evaluasi yang menghasilkan reformulasi penanggulangan covid-19 sesungguhnya merupakan langkah progresif demi melindungi nyawa masyarakat. Namun, setiap kebijakan yang diambil penyelenggara pemerintahan tidak boleh mengabaikan bahkan menabrak ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana disuguhkan penulis, terkait prosedur ppelaksanaan PSBB harusnya berpedoman pada PP No. 21/2020 bukan melandaskan atas keputusan BNPB apalagi izin Gubernur. Penerapan kebijakan tanpa rujukan hukum yang kokoh pada gilirannya mengantarkan pemerintah daerah pada situasi praktik abuse of power dan terjebak dalam kubangan absolutisme kekuasaan sekaligus jauh dari pinsip indikator good governance.
Penulis adalah Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik