Oleh: Syamsudin Kadir
(Penyunting Buku “Geger Mahkota Kasepuhan”)
CIREBON adalah salah satu tanah mulia yang memiliki sejarah panjang. Dulu, di sini lahir tokoh-tokoh besar dan bersejarah. Mendalami Cirebon era ini pun merupakan giat yang sangat perlu dan menarik. Bukan saja karena Cirebon terkenal sebagai Kota Wali dan Kota Udang, tapi juga karena orang Cirebon memiliki nilai luhur, petuah dan budaya yang khas.
Kali ini saya sedang membaca naskah “Geger Mahkota Kasepuhan” yang dalam proses cetak jadi buku, karya seorang sahabat sekaligus guru pada dunia kepenulisan, Mas Bondhan W. Ya hari ini Rabu 14 April 2021 saya membaca serpihan seputar Cirebon, terutama terkait polemik Mahkota Kasepuhan yang masih menjadi tema diskusi dan perbincangan berbagai kalangan. Beberapa tahun terakhir pro-kontra berbagai kalangan terlihat begitu jelas.
Apapun itu, sebagai pembaca dan penikmat teks, saya tak punya kapasitas mengambil posisi pro atau kontra. Selain karena belum paham duduk persoalannya, saya memang belum melakukan penelitian yang serius perihal berbagai hal yang menjadi polemik. Bagi saya, membaca teks adalah hiburan tersendiri. Bahkan bisa menambah perspektif dan wawasan. Sederhananya, biar bodohnya saya tak terus-terusan.
Tentu ke depan saya berupaya untuk melakukan penelitian lebih serius. Bukan saja seputar polemik mahkota kasepuhan, tapi juga seputar Cirebon dari berbagai aspeknya. Sebab saya sangat percaya bahwa Cirebon ini sangat kaya dan memiliki sejarah yang panjang dan unik. Bahkan pada masa dulu, Cirebon merupakan salah satu kota dunia dan menjadi tujuan wisatawan global. Cirebon pun bukan saja terkenal dengan Walinya tapi juga perdagangannya yang mendunia.
Kota Wali dan Kota Udang yang kerap disematkan pada Cirebon tentu tidak ngasal, tapi meiliki basis argumentasinya. Sunan Gunung Djati adalah salah satu Wali dari Walisongo atau Wali Sembilan yang sangat terkenal pada sejarah peradaban nusantara. Selain menyebarkan agama Islam, beliau juga sosok pendidik yang hebat. Kepedulian beliau pada perkembangan Islam termasuk pada masjid dan kaum fakir-miskin pun tidak bisa diragukan lagi.
Ketertarikan saya untuk membaca teks seputar Cirebon dan menelisik secara serius perihal Cirebon semakin menggebu-gebu karena Cirebon juga kaya destinasi wisata. Bahkan bisa dikatakan, di Cirebon ini setiap jengkal tanahnya adalah kekayaan yang punya nilai atau harga yang tak bisa dihitung dengan materi atau uang.
Sekadar menyebut sebagian, di Cirebon ada begitu banyak benda peninggalan sejarah yang menjadi jagar budaya seperti Gedung Balai Kota, Gedung Negara, Gedung Banj Indonesia, Gedung British American Tobacco (BAT), dan Stasiun Kreta Api Cirebon. Selain itu, Cirebon juga terkenal dengan Nasi Jamblang dan Empal Gentongnya. Tidak itu saja, Cirebon juga terkenal dengan Batiknya.
Berbagai Keraton pun ada di Cirebon. Misalnya, Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan dan Keraton Keprabonan. Cirebon semakin menarik dan perlu diteliti lebih lanjut karena di Cirebon juga memiliki beberapa masjid yang sangat bersejarah seperti Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Masjid Merah Panjunan, Masjid Raya at-Taqwa dan masih banyak lagi masjid lainnya.
Cirebon juga memiliki destinasi wisata yang menarik dan layak dikunjungi. Di sini ada Cirebon Waterland Ade Irma Suryani. Tempat ini menyediakan fasilitas yang tergolong mewah dan memadai. Selain tempat permainan juga tersedia kolam renang dan tempat belanja ringan. Kemudian, di Cirebon juga ada Gua Sunyaragi.
Gua ini terbangun di tanah yang cukup luas. Bangunan dan taman sekitarnya pun unik dan klasik. Cirebon pun semakin menjadi menarik karena di sini ada Pantai Kejawanan yang berada di bagian utara Kota Cirebon. Hempasan ombak dan angin semilir membuat tempat ini sangat memanjakan para pengunjung.
Apa yang saya sebut dan jelaskan di atas tak seberapa dengan kelebihan dan kekayaan Cirebon yang sesungguhnya. Kemampuan saya untuk menelisik dan mendeskripsikan Cirebon sangat terbatas. Walau demikian, setelah hampir 11 tahun menjadi warga Cirebon tepatnya warga Kota Cirebon, saya semakin merasakan dan menyadari bahwa Cirebon ini sangat kaya. Dan ini yang paling penting lagi, orangnya ramah-ramah namun punya sikap izzah atau menjaga harga diri.
Ya, saya sedang belajar dan akan terus belajar tentang Cirebon. Proses ini memang panjang dan butuh waktu yang tak sedikit. Namun memulai itu jauh lebih penting daripada tak belajar sama sekali. Dengan banyak membaca atau menelisik Cirebon dari berbagai sumber, saya pun bakal terdorong untuk terus mendalami lebih dalam lagi. Sehingga saya yang tergolong warga pendatang pun memiliki keakraban yang “batini” pada Cirebon dan etnis aslinya. Apalah lagi saya sudah menikah dengan gadis Cirebon, cumbu saya pada Cirebon semakin menjadi-jadi. Semoga saja begitu! (*)
* Rabu 2 Ramadan 1442 H/14 April 2021 M