Oleh: Ummu Farizahrie
(Pegiat Dakwah)
AKHIR-AKHIR ini angka peningkatan kasus Covid-19 semakin tinggi. Banyak pasien membutuhkan oksigen. Rumah sakit kewalahan tidak mampu menyediakan dan memenuhi semua pasien yang membutuhkan, dikarenakan stoknya terbatas.
Menanggapi hal di atas, Asisten Ekonomi dan Pembangunan Pemerintah Kabupaten Bandung Marlan, menyampaikan bahwa seharusnya setiap rumah sakit yang ada di Kabupaten Bandung memiliki generator oksigen sendiri sehingga kebutuhan isi ulang tabung oksigen untuk masyarakat yang membutuhkan dapat terpenuhi. (pojokbandung.com, 07/07/21)
Kelangkaan oksigen bukan hanya di Kabupaten Bandung. Menurut Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil ada delapan daerah di Jawa Barat yang mengalami krisis stok oksigen, yaitu: Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Ciamis, Garut kota dan Kota Tasikmalaya.
Selain di Jawa Barat, ternyata Rumah Sakit dr. Sardjito Yogyakarta mengalami hal serupa. Begitupun di Jakarta masyarakat mengantri mengisi tabung oksigen di depot-depot pengisian. Usaha mendapatkan oksigen pun tidak mudah. Masyarakat terpaksa harus mencari kesana-kemari karena tidak semua depot pengisian mendapat pasokan yang cukup dari perusahaan penyedia oksigen.
Terkait kelangkaan isi ulang oksigen, rencana ke depan, Pemprov Jawa Barat akan membangun sebanyak 27 gudang oksigen untuk memenuhi kebutuhan pasien Covid-19. Disamping itu Pemprov juga akan menerima bantuan berupa tabung oksigen dari PT Krakatau Steel, PT Pupuk Sriwidjaja dan juga Pertamina.
Kalau kita cermati membludaknya pasien, yang berimbas terhadap tidak mencukupinya stok oksigen karena sejak awal pandemi, pemerintah sudah salah langkah dan salah arah. Menganggap remeh wabah, ketika pun membuat kebijakan adalah kebijakan pragmatis, sporadis, tidak efektif dan tidak solutif.
Dengan alasan menyelamatkan ekonomi akhirnya ekonomi terpuruk, kesehatan kian memburuk. Pemerintah tidak siap memenuhi kebutuhan oksigen bagi pasien. Pemerintah lamban dalam memprediksi serta mengantisipasi kebutuhan pasien dengan lonjakan kasus.
Ditambah rumitnya rantai distribusi pasokan bagi masyarakat dan rumah sakit, sebab pemerintah justru menyerahkan urusan ini kepada perusahaan swasta. Mereka lah yang mengatur rantai distribusi pasokan oksigen kepada distributor besar maupun kecil untuk dijual kepada masyarakat umum ataupun rumah sakit.
Rangkaian distribusi tersebut semakin rumit manakala ada saja oknum nakal yang sengaja menimbun pasokan oksigen untuk mempermainkan harga. Akibatnya pasokan oksigen tidak merata di beberapa tempat. Ada tempat yang mengalami defisit pasokan adapula yang malah kelebihan stok.
Pendistribusian semestinya dapat dipangkas dengan cara mengambil alih langsung untuk disampaikan pada konsumen, baik masyarakat umum maupun fasilitas kesehatan. Pemerintah dapat membeli langsung dari pihak swasta yang menjadi produsen oksigen bagi fasilitas kesehatan. Atau opsi lainnya bisa saja negara menguasai bidang ini karena termasuk sektor esensial untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yaitu kesehatan.
Mengingat oksigen adalah kebutuhan vital untuk pasien kritis, rasa simpati masyarakat pun bermunculan. Hal ini nampak dari dibentuknya gerakan wakaf tabung oksigen untuk membantu warga masyarakat yang membutuhkan. Padahal seharusnya pemerintah lah yang cepat tanggap terhadap kondisi darurat seperti ini.
Demikianlah bila kapitalisme demokrasi dijadikan landasan dalam mengatur negara. Siapapun bebas menguasai sektor vital bagi hajat hidup orang banyak. Sistem seperti ini melahirkan pemimpin yang abai dalam mengurus kepentingan rakyatnya dan lebih tunduk pada kepentingan para pemilik modal yang telah berjasa dalam memuluskan naik ke tampuk kekuasaan.
Penguasa dalam kapitalisme hanyalah sebatas regulator bukan penanggung jawab penuh. Negara tidak memiliki kemampuan membiayai kesehatan sebab pengelolaan sumber daya alam diserahkan kepada swasta baik lokal maupun asing. Pemasukan negara yang utama hanyalah pajak dan utang.
Sangat berbeda dengan pengaturan urusan umat dalam sistem Islam. Sebagai ideologi yang menyandarkan aturannya pada Al-Qur’an dan Sunnah, Islam sangat sempurna dalam mengatur urusan umat manusia. Dalam Islam nyawa manusia lebih berharga daripada dunia dan seisinya, seperti sabda Rasulullah saw.:
“Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak”. (HR Nasai 3987, Turmudzi 1445)
Seorang pemimpin dalam Islam (khalifah) akan mengurus seluruh kebutuhan rakyatnya, terlebih saat sedang tertimpa wabah penyakit. Khalifah akan memastikan ketersediaan stok kebutuhan masyarakat seperti makanan, obat-obatan dan pelayanan kesehatan lainnya termasuk oksigen. Pendistribusian yang diperumit akan ditindak tegas, agar apa yang dibutuhkan masyarakat bisa tertunaikan. Negara juga akan memberi sanksi kepada oknum yang melakukan penimbunan barang.
Hal tersebut telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. diikuti oleh para khalifah berikutnya. Pernah suatu kali Rasulullah saw. mendapat hadiah seorang tabib, lalu beliau memerintahkan tabib tersebut untuk mengurusi kesehatan umat pada waktu itu secara gratis.
Demikian juga dengan para khalifah, mereka benar-benar memastikan rakyatnya tidak kekurangan sandang, pangan dan papan. Karena dalam Islam pemimpin adalah ri’aayatul su’uni al ummah (pengurus urusan umat) yang akan bertanggung jawab langsung dihadapan Allah Swt. Didukung oleh sistem keuangan yang kuat melalui mekanisme Baitul Mal, semua kebutuhan rakyat akan terpenuhi dan tidak ada seorangpun yang didzalimi.
Semoga Allah menyegerakan tegaknya sistem Islam dengan pemimpinnya yang amanah, agar hidup penuh berkah.
WalLahu a’lam bi ash shawab.
Catatan: isi di luar tanggung jawab redaksi