Oleh: Ummu Abdillah
(Member AMK)
KEMBALI lagi dunia pendidikan negeri ini resah. Sebabnya Kementerian pendidikan, kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikburistek) hendak membuat kebijakan baru yang berhubungan dengan penyaluran Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Tentu saja hal itu menuai protes dari rakyat. (insulteng.com, 3/9/2021)
Salah satu protes datang dari aliansi pendidikan, gabungan sejumlah organisasi yang menolak Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021. Seperti yang dikatakan Kasiyarno (Wakil Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah) bahwa pihaknya menolak dan juga mendesak agar menghapus kebijakan yang berisi petunjuk teknis pengelolaan Dana BOS Reguler dan Surat Edaran Dirjen PAUD Dikdasmen Nomor 1231/C/DS.00.01/2021 tentang Pembaruan Dapodik untuk Dasar Perhitungan Dana BOS Reguler. Ia menambahkan bahwa hal itu bertolak belakang dengan amanat pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945.
Menurutnya, kebijakan tersebut tidaklah memenuhi rasa keadilan dan diskriminatif. Terutama Pasal 3 Ayat (2) Huruf d tentang penerima dana BOS reguler tertera ketentuan sekolah yang memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 peserta didik selama tiga tahun.
Tentu saja kebijakan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) berdampak pada kelangsungan proses kegiatan belajar-mengajar. Terutamanya bagi sekolah-sekolah yang letaknya masih di daerah pedalaman yang belum tersentuh oleh sekolah negeri. Pada dasarnya BOS ini diperuntukkan untuk biaya operasional sekolah dan pengadaan sarana prasarana sekolah. Seperti penyediaan buku-buku perpustakaan, laboratorium, komputer, dan hal lainnya guna penunjang pembelajaran.
Ditambah kebijakan ini dibuat di tengah pandemi yang belum usai. Dimana semuanya serba sulit. Baik itu ekonomi, kesehatan dan aspek lainnya. Sekarang kesulitan itu makin menjadi dengan diberlakukannya kebijakan yang tidak masuk akal tersebut.
Padahal kita tahu, bagaimana nasib sekolah saat ini akibat pandemi. Banyak sekolah yang hampir tidak bisa beroperasi dikarenakan kurangnya dana untuk menggaji guru dan petugas sekolah yang non-PNS dan biaya operasional lainnya. Sementara sekolah tak bisa sepenuhnya berharap pada pungutan yang berasal dari siswa.
Itu dikarenakan adanya Permendikbud yang menyatakan bahwa satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan pendidikan, apapun bentuknya. (kompas.com, 12/7/2020)
Namun pemerintah seolah menutup mata, justru semakin buta. Dengan arogannya memberlakukan kebijakan yang mencekik. Yakni hendak mencabut bantuan BOS bagi sekolah yang tidak memenuhi syarat seperti di atas. Kebijakan macam apa yang dibuat negeri ini. Bukannya menjadi pelayan yang baik bagi rakyatnya. Sebaliknya semakin abai pada urusan rakyat yang sejatinya merupakan tanggung jawab mereka.
Semestinya sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan terbaik bagi rakyat. Salah satunya di bidang pendidikan. Maka diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Seperti gedung yang layak pakai, kursi, meja, dan fasilitas yang lain.
Di samping itu juga pemerintah harus menyediakan dan mencukupi kebutuhan penggajian pengajar yang kompeten di bidangnya. Karena semua itu untuk menunjang kesuksesan kegiatan belajar-mengajar dan mampu menjadikan sekolah untuk mencetak generasi muda yang sopan, berkarakter, cerdas dalam sains.
Namun sayang, pendidikan yang dicita-citakan mampu melahirkan sekolah yang berkualitas belumlah terwujud. Mengapa? Pemerintah masih gagap dan setengah hati dalam memberikan fasilitas terbaik, khususnya di bidang pendidikan bagi rakyat. Pemerintah seolah-olah ingin lepas dari tanggung jawabnya sebagai penyelenggara utama dalam hal pendidikan.
Maka wajar bila akhirnya bermunculan sekolah-sekolah swasta yang didirikan oleh kelompok masyarakat dan organisasi. Dengan tujuan yang mulia yakni ingin turut berkontribusi mencerdaskan anak-anak sebagai aset peradaban bangsa. Namun, sekolah swasta ini pun nasibnya di ujung tanduk akibat kebijakan yang akan diberlakukan pemerintahan. Mereka yang tidak memenuhi kuota peserta didik yang disyaratkan bersiap untuk tidak akan mendapatkan bantuan.
Adanya peraturan tersebut maka negara dalam hal ini akan sedikit bernafas lega karena terbebas dari kewajiban memberi BOS untuk sekolah-sekolah yang tak masuk kategori peraturan tersebut. Tak peduli apa dampak yang nanti terjadi, selama itu menguntungkan maka akan diambilnya. Sungguh tragis nasib negeri ini, padahal mengenyam pendidikan adalah hak dasar bagi seluruh rakyat. Namun begitulah sistem kapitalisme-sekuler yang menjerat negeri. Penyelenggara pendidikan yaitu pemerintah hanyalah sebagai regulator saja.
Semestinya pemerintah membangun infrastruktur sekolah yang baik dengan fasilitas sarana dan prasarana yang lengkap. Agar rakyat bisa menikmatinya. Jangan berdalih tak punya dana untuk merealisasikan dunia pendidikan. Ataupun dikapitalisasikan. Atau juga ketika memberikan bantuan, namun dengan prasyarat yang sulit dicapai.
Maka jelas sudah bahwa kapitalisme bukan sistem yang tepat untuk diterapkan. Ia merupakan sistem buatan manusia yang meniscayakan cacat dan serba tersalah. Sistem yang memandang bahwa di mana ada celah yang menguntungkan, di sana akan diambilnya. Maka dalam hal pendidikan pun demikian. Akibatnya mereka tak mampu melahirkan generasi bangsa yang rabbani, cerdas dan unggul dalam pengetahuan. Namun sebaliknya banyak terlahir dari sistem aturan ini generasi yang jauh dari agama, hedonis dan hidup dalam kebebasan.
Bandingkan dengan sistem Islam. Pendidikan dalam Islam bagaikan mata air kehidupan dan tiang peradaban. Begitu urgennya, hingga negara berkewajiban penuh memberikan fasilitas terbaik demi terselenggaranya kegiatan belajar-mengajar. Baik pendidikan dari tingkat keluarga serta masyarakat pada umumnya. Karena pendidikan adalah hak seluruh rakyat. Baik kaya atau miskin, muslim maupun non-muslim semua berhak mendapatkan pelayanan pendidikan dengan fasilitas dan kualitas terbaik.
Untuk menunjang pendidikan yang berkualitas, negara pun berkewajiban mewujudkan sarana dan prasarana yang baik pula. Begitupun negara wajib menyediakan tenaga pengajar yang profesional, serta menyediakan perpustakaan, asrama dan fasilitas lainnya hingga berjalan kegiatan belajar-mengajar dengan nyaman dan penuh semangat. Semua biaya operasional dalam penyelenggaraan pendidikan akan dibiayai sepenuhnya oleh negara. Dimana pembiayaannya ditunjang dari sistem ekonomi Islam dan yang diperoleh dari kas baitulmal.
Begitulah negara Islam sangat memperhatikan semua kebutuhan rakyatnya, termasuk dalam hal pendidikannya. Hal itu pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Saking pentingnya pendidikan, Rasulullah saw. pun membuat kebijakan politik dengan memberikan kesempatan kepada setiap tawanan perang bila ingin dibebaskan maka harus mengajarkan baca tulis kepada 10 orang kaum muslim.
Pun pada masa Khalifah Umar bin Al-Khaththab ra. Khalifah Umar begitu sangat memperhatikan nasib para pengajar. Bahkan setiap guru memperoleh insentif yang luar biasa besarnya. Hingga seorang guru TK pun mendapatkan gaji sekitar 15 dinar atau setara dengan 63,75 gram emas 24 karat setiap bulannya. Indah bukan?
Keindahan itu bukan hanya di masa Rasulullah saw. maupun Umar bin Al-Khaththab ra. Tetapi di masa kekhalifahan seterusnya, pendidikan Islam mengalami kejayaan dan menjadi tegak berdiri sebagai mercusuar peradaban yang disegani seluruh negara di dunia pada masanya.
Semua itu karena ditopang oleh sistem yang sempurna, yang mutlak bersumber dari Allah Swt. Maka bila kita menginginkan kembali peradaban yang agung, cemerlang, hanya ada satu cara: tinggalkan sistem buatan manusia ini, ganti dengan sistem yang baik, yakni terapkan sistem Islam dalam segala aspek kehidupan.
Wallahu a’lam bish shawab
Catatan: isi di luar tanggung jawab redaksi