Oleh: Syamsudin Kadir
(Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jawa Barat)
HARI ini Ahad 2 Januari 2022 saya menghadiri acara gebyar rangkaian Puncak Peringatan Milad PUI Ke-104 dan Pembukaan Musyawarah Majelis Syura PUI. Acara ini digelar secara Hybrid dan bisa disaksikan secara virtual di Zoom Meeting dan Live Youtube. Pada acara ini turut hadir Dr. KH. Ahmad Heryawan, Lc, M.Si (Kang Aher) selaku Ketua Majelis Syuro PUI yang menyampaikan Pidato Kebangsaan Milad PUI ke-104 & Menyambut Tahun 2022 dan KH. Nurhasan Zaidi selaku Ketua DPP PUI yang menyampaikan Kaleidoskop PUI & Muhasabah 2021. Selain itu, para Ulama dan Tokoh-tokoh PUI lainnya juga turut hadir.
Acara yang dihadiri oleh jamaah PUI Se-Indonesia yang dimulai sejak pukul 09.00 WIB dengan pemandu Kang Hendra Gunawan ini diselingi oleh berbagai seni seperti Shalawat Nabi & Nasyid oleh Tim Ponpes Syamsul Ulum Sukabumi, Nasyid oleh Kang Aden, Video-video yang masuk Nominasi Lomba Kreatif Milad PUI dan berbagai tampilan kreasi positif dan produktif lainnya. Bahkan panitia juga menyediakan Dooprize 1 buah HP, Voucher Hotel Narapati Bandung, dan doorprize menarik lainnya bagi yang mengikuti acara.
Pada abad kedua ini PUI memiliki banyak agenda yang hendak diwujudkan sebagaimana yang sudah dirumuskan oleh Majelis Syuro PUI beberapa waktu lalu. Saya mencatat bahwa salah satu agenda penting yang mesti dilakukan PUI ke depan adalah melahirkan Mujadid baru seperti yang diungkap oleh KH. Nurhasan Zaidi pada sambutan pembukaan acara kali ini. Mujadid adalah sosok pemimpin sekaligus ilmuan yang memiliki pengaruh terhadap sketsa dan perjalanan umat juga peradaban manusia untuk suatu zaman yang panjang minimal seratus tahun.
Mengapa agenda ini menjadi penting? Paling tidak ada beberapa alasan. Pertama, PUI punya tanggungjawab sejarah bagi kemajuan umat dan bangsa. PUI lahir untuk tujuan mulia yaitu menjadi kekuatan yang mampu melahirkan sumber daya manusia unggul yang kelak mampu menghadirkan perubahan dan perbaikan bagi umat dan bangsa. Para pendiri PUI adalah pemimpin umat sekaligus pendiri negara kesatuan republik Indonesia. “Ketiga pendiri PUI merupakan tokoh umat sekaligus pemimpin bangsa yang sukses memimpin dan membanggakan kita semua”, ungkap KH. Nurhasan Zaidi pada sebuah pertemuan.
Dalam konteks kebangsaan, PUI punya tanggungjawab dan peran untuk menyudahi berbagai permasalahan bangsa. Sebab PUI merupakan ibu kandung negara ini. PUI lahir sebelum negara Indonesia berdiri. Ia lebih tua dan dewasa dari negara. Karena itu, PUI mesti memastikan Pancasila tetap kokoh sebagai dasar negara. Sebab nilai-nilai Pancasila merupakan transmisi nilai-nilai Islam. Dengan demikian, PUI perlu memastikan dirinya untuk berkontribusi bagi penyelesaian masalah yang menimpa bangsa dan negara kita. Termasuk bencana non alam: Covid-19 yang kini masih menimpa negara kita.
Kita tetap percaya bahwa peluang untuk berbuat baik bagi masyarakat bahkan negara sangat terbuka lebar bagi PUI. Potensi PUI sangat memungkinkan untuk melakukan hal-hal mendasar dan dibutuhkan oleh masyarakat luas. Berbagai lini kehidupan publik merupakan Medan terbuka bagi kita untuk mengejawantahkan berbagai strategi perbaikan seperti yang dirumuskan dalam konsep Intisab.
“Kita mesti optimis akan sukses melampaui masa pandemi ini,” ungkap KH. Nurhasan Zaidi pada sambutannya. “Pancasila merupakan kontrak sosial sekaligus titik temu keragaman anak bangsa. Pancasila tak bertentangan dengan Islam, justru nilai-nilai Pancasila merupakan adaptasi dari bahkan nilai-nilai Islam itu sendiri”, tegas Kang Aher.
Kedua, PUI memiliki karakter yang memungkinkan dirinya untuk dinamis dan fleksibel. Wasathiyyah Islam, atau dalam bahasa kita moderasi Islam, alias Islam tengahan, merupakan prinsip yang sudah menjadi menjadi pijakan PUI sejak berdiri sejak 21 Desember 1917, bahkan sejak tahun-tahun sebelumnya ketika masih embrio. Sehingga PUI sangat mungkin untuk menjadi titik temu semua organisasi masyarakat Islam. Karena itu PUI perlu beradaptasi pada perubahan dan kemajuan zaman. “Titik temu berbagai organisasi Islam adalah persatuan. Dan PUI adalah organisasi yang mungkin untuk itu”, ungkap Kang Aher pada sambutannya.
Ketiga, PUI berpengalaman dipimpin dan melahirkan para tokoh berpengaruh di setiap level masyarakat bahkan negara. Karena itu di era ini PUI mesti menyiapkan berbagai strategi dalam melahirkan generasi terbaik. Generasi terbaik yang dimaksud adalah generasi unggul yang mampu menghadapi berbagai tantangan dan mengeksekusi berbagai agenda ke depan. PUI perlu serius dalam menjalankan peran ini, sebab tantangan ke depan jauh lebih rumit. Dan yang mampu menghadapi adalah generasi unggul, yaitu generasi Intisabi.
Lebih praktis, berbagai lembaga pendidikan mesti diarahkan kepada upaya penguatan kaderisasi dan organisasi. Berbagai lembaga mesti menjadikan kedua hal ini sebagai ruh dalam menjalankan berbagai peran dakwah dan perjuangan. Proses inilah yang memungkinkan PUI sukses melahirkan para mujadid abad baru ini, bahkan mampu memimpin umat dan bangsa. “Kita berharap pada abad kedua ini PUI mampu melahirkan para mujadid. Bukan sekadar personalnya tapi mujadid kolektif”, ungkap KH. Nurhasan Zaidi pada sambutannya.
Keempat, PUI memiliki konsep-konsep dasar keorganisasian yang kokoh dan mendasar. Modal penting yang dimiliki PUI adalah Intisab yang akrab di kalangan di PUI sebagai al-Ishlah at-Tsamaniyah, delapan strategi perbaikan.
“Kalau saja delapan strategi ishlah diperdalam dan dilaksanakan dengan baik, maka PUI mampu menjadi kekuatan berkontribusi besar bagi perbaikan umat”, lanjut KH. Nurhasan Zaidi. Bahkan menurut Kang Aher, organisasi yang berpijak pada pijakan yang kokoh pasti berusia panjang. “Sebuah organisasi akan kuat dan panjang usianya bila ia berazas pada azas yang kokoh yaitu Wahyu yang bersifat transendental”, ungkap Kang Aher pada sambutannya. Karena itu, PUI mesti adil dan tidak ekstrim dalam beragama dan menjalankan nilai-nilai perjuangannya.
Kelima, PUI berpengalaman dan sukses menjalankan kolaborasi. Bahkan PUI merupakan fusi dari dua organisasi besar. PUI merupakan fusi dari dua perhimpunan besar yang didirikan oleh tokoh-tokoh tersebut, yakni Persjarikatan ‘Oelama yang berubah nama menjadi Perikatan Oemmat Islam (POI) pimpinan KH. Abdul Halim yang berkedudukan di Majalengka dan Al-Ittihadijatoel Islamijjah (AII) yang berubah nama menjadi Persatuan Oemmat Islam Indonesia (POII) pimpinan KH. Ahmad Sanusi di Sukabumi, pada tanggal 5 April 1952.
Tujuan fusi adalah untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia serta untuk mengurangi pertentangan dan perpecahan diantara umat Islam. Ini adalah kolaborasi yang indah dan membanggakan. Tiga pendiri PUI: KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi dan Mr. R. Syamsuddin adalah sosok tokoh teladan yang sejarah dan kontribusi perjuangannya mesti terus kita baca. Mereka telah melakukan hal-hal besar dan bersejarah bagi umat dan bangsa ini. “Kita mesti melebur dan hidup bersama masyarakat. Sebab PUI dilahirkan untuk itu”, ungkap Kang Aher.
104 tahun adalah usia yang cukup tua dan dewasa dalam menjalankan agenda perjuangan. Era abad kedua ini adalah era untuk terus melebur dan membersamai masyarakat luas tanpa sekat-sekat. Terus mencari titik temu dan berkolaborasi adalah agenda yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Nama PUI sendiri merupakan sumber inspirasi untuk terus menjalankan peran-peran semacam itu.
Kita mesti mengutamakan persatuan daripada perpecahan, fokus melayani ummat dan membangun bangsa serta menjadikan nilai-nilai Islam sebagai pijakan dalam menjalankan berbagai agenda dakwah dan perjuangan. Semoga dengan demikian, PUI semakin berkontribusi bahkan sukses melahirkan para mujadid baru di abad kedua ini! (*)