Oleh: Ummu Munib
(Pengamat Masalah Sosial)
SALAM merupakan ungkapan awal yang lazim diucapkan seseorang ketika berjumpa dan bertegur sapa dengan orang lain. Adapun ragamnya sungguh beraneka di negeri ini, namun semua terasa damai, tanpa menimbulkan kekacauan dan kegaduhan di tengah masyarakat.
Sebagaimana kita pahami, negeri ini mempunyai semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu. Salah satunya karena terdapat ragam suku, bahasa, budaya, dan agama. Sungguh suatu hal yang wajar jika negeri ini memiliki banyak ragam salam yang digunakan. Adapun mayoritasnya penduduk negeri ini adalah beragama Islam sehingga mayoritas ucapan salam yang digunakan adalah ucapan Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh.
Berbicara tentang salam, kini viral ajakan untuk mengucapkan ucapan Salam Pancasila. Salam ini digagas oleh Kepala BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) Yudian Wahyudi. Detiknews (23/01/2022) melansir, Yudian memperkenalkan dan menggaungkan penggunaan Salam Pancasila. Salam itu ia ungkapkan bukan sebagai pengganti salam keagamaan, melainkan sebagai salam kebangsaan. Ia menyatakan, “Salam Pancasila adalah jalan tengah kebangsaan yang terbebas dari unsur teologis. Salam Pancasila bukan untuk mengganti salam keagamaan.”
Selain itu ia pun berpendapat bahwa Salam Pancasila merupakan jembatan dan menjadi titik temu bagi masyarakat tanpa melihat latar belakang apa pun. Pengucapannya di ranah publik mempunyai tujuan supaya bangsa Indonesia terjaga persatuannya, tidak ada perpecahan dan mendapatkan pahala dari Allah Swt.”
Masih dari laman yang sama, Syaiful Arif selaku Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila sekaligus menjabat sebagai Staf Ahli MPR RI mengatakan, “Salam Pancasila sebagai Salam Kebangsaan, perlu terus disosialisasikan sebab menyeru kepada persatuan yang diperintahkan Allah Swt.”
Kalau kita cermati pendapat Kepala BPIP bahwa Salam Pancasila dapat menyatukan keberagaman bangsa. Rasanya sesuatu hal yang absurd, karena kegaduhan yang terjadi di masyarakat saat ini sesungguhnya bukan karena salam keagamaan atau ajaran agama yang dipraktikkan khususnya oleh mayoritas muslim. Namun penyebabnya adalah pemberlakuan sistem Kapitalisme Sekulerisme yang telah melahirkan konflik perpecahan dan ketidakadilan.
Sebagai contoh konflik Papua yang notabene merupakan provinsi yang kaya akan sumber daya alam. Sungguh ironis kondisi kehidupan rakyat Papua jauh dari sejahtera. Kemiskinan, gizi buruk, anak-anak di pedalaman berperut buncit akibat cacingan bahkan stunting. Berbeda dengan para pendatang, katakanlah perusahaan swasta dan asing, dengan bermodalkan kekuatan kontrak mereka mengeruk Papua hingga lubang besar menganga di tengah pulau berlimpah emas ini. Wajar saja konflik di Papua tak kunjung usai.
Semua itu akibat salah pengelolaan kekayaan yang statusnya milik umum diserahkan kepada pihak swasta bahkan asing. Semua bersumber dari penerapan sistem Kapitalisme sebuah sistem yang berpihak kepada para kapitalis (pemilik modal besar).
Dalam masalah hukum, tampak nyata hukum tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Masih hangat dalam ingatan kita kasus pelanggaran PPKM penjual bubur di Tasikmalaya didenda sebesar Rp 5 juta karena melayani pembeli makan di tempat.
Sementara itu ada anggota DPRD Banyuwangi menggelar pesta pernikahan hanya didenda Rp 500 ribu sungguh sebuah ketidakadilan yang menyakitkan hati rakyat kecil.
Semua itu diperparah dengan paham Sekulerisme (menjauhkan agama dari kehidupan). Penguasa merasa tidak berdosa saat abai kepada rakyatnya. Ranah agama hanya untuk urusan ibadah, sedangkan sendi kehidupan yang lain dilarang membawa agama. Kondisi kian buruk dengan diangkatnya isu radikalisme.
Dimana radikalisme dianggap seolah ancaman terbesar bangsa. Salah satunya adalah pemberian label Islam intoleran, Islam radikal yang ditujukan kepada kelompok Islam tertentu. Hal ini mengakibatkan perpecahan di antara kaum muslim sendiri, sehingga saling terpecah dan mencurigai sesama muslim.
Di sisi lain kaum liberal dan sekuler terus menggulirkan agenda moderasi agama. Mereka terus mengembuskan agar umat Islam tidak lagi yakin atas akidahnya, termasuk dalam ucapan salam. Walaupun Salam Pancasila dikatakan bukan pengganti salam keagamaan, namun sebagai seorang muslim harus waspada, sebab sedikit demi sedikit hal itu dapat mengikis ajaran Islam.
Dalam Islam, salam memiliki arti doa keselamatan, memuliakan dan akan menuai pahala dan keberkahan bagi yang memberi maupun yang diberi salam. Sedangkan hukumnya sunah bagi yang mengucapkan salam dan menjawabnya adalah suatu kewajiban. Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya orang yang paling utama di sisi Allah adalah mereka yang memulai salam.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
Dengan demikian Islam telah sangat sempurna mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk ucapan salam. Begitu juga Islam mengatur tentang keberagaman. Sejarah mencatat selama kurang lebih 13 abad lamanya Islam diterapkan secara kafah. Kehidupan bangsa-bangsa di dunia yang penuh dengan keberagaman, mereka dapat dipersatukan dengan damai dan penuh kasih sayang. Tiada lain karena ikatan yang mengikat mereka yaitu akidah Islam.
Sesungguhnya untuk mewujudkan persatuan tidak hanya sekadar menggunakan salam tertentu, melainkan dengan suatu ikatan kuat yang mampu mengikat semua golongan yakni akidah Islam. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. dan para sahabatnya. Wallahu a’lam bi ash-shawwab. (*)