Oleh: Retno Purwaningtias, S.IP
(Pegiat Literasi)
MASYARAKAT coba dipikat, dengan pencitraan palsu yang merakyat. Karena harga minyak goreng kemasan tak bersahabat, masyarakat beralih ke minyak goreng curah yang bisa membuat kantong lebih hemat. Pemerintah pun bersiasat menghapus peredaran minyak goreng curah dalam waktu dekat secara bertahap. Alasannya, minyak goreng curah tidak baik untuk kesehatan rakyat.
Ide penghapusan minyak goreng curah di pasaran awalnya lahir dari Menko Marves, Luhut Binsar Panjaitan. Kemudian Zulkifli Hasan (Zulhas) sebagai Menteri Perdagangan yang baru dilantik membebek pada wacana kebijakan tersebut. Jelas saja ini menuai kritik dari salah satu anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS, Mulyanto. Ia mengatakan Mendag yang baru sangat payah karena baru saja dilantik dan belum berbuat apa-apa, sudah mengurusi masalah migor curah. (fajar.co.id, 18/6/2022).
Edy Priono, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, mengatakan bahwa alasan menghapus peredaran minyak goreng curah yang ada di pasaran karena minyak goreng curah tidak higienis dan berpotensi tercampur dengan bahan-bahan yang lain. Jika tercampur, maka minyak yang diterima masyarakat menjadi tidak steril sehingga berbahaya untuk kesehatan.
Tentu saja latar belakang lahirnya ide ini ibarat jauh panggang dari api. Konteksnya berbeda. Memang betul fakta hari ini minyak goreng kemasan lebih higienis dibandingkan minyak goreng curah, tetapi mendapatkan bahan pangan yang higienis dan aman untuk kesehatan adalah hak masyarakat. Pemerintah memang sudah seharusnya wajib mengawal proses produksi minyak goreng curah yang beredar di pasaran sehingga higienitasnya tetap terjaga.
Minyak goreng curah sendiri adalah minyak goreng kemasan yang tidak dikemas, sehingga tidak membutuhkan biaya untuk pengemasan, wajar harganya lebih murah. Bila selama ini didapati ada minyak goreng curah di pasaran yang bermasalah, berarti itu adalah kesalahan negara yang abai pada masyarakatnya.
Yang menjadi pertanyaannya kemudian, mengapa baru sekarang alasan tersebut dikedepankan? Sementara minyak goreng curah sejak dulu sudah beredar dan sudah menjadi minyak goreng substitusi (pengganti) bagi kalangan menengah ke bawah di saat harga minyak goreng kemasan tidak terkendali. Bukankah menghapus peredaran minyak goreng curah perlu dipertanyakan?
Kita patut curiga. Pasalnya, pemerintah jelas-jelas tidak berhasil dalam mengendalikan gejolak harga minyak goreng, baik minyak goreng curah maupun kemasan. Lalu tiba-tiba pemerintah ingin menghapus minyak goreng curah yang terbukti sangat bermanfaat sebagai minyak goreng substitusi bagi masyarakat di saat harga minyak goreng kemasan dianggap terlalu tinggi.
Bila kita melihat ke belakang, pemerintah tampaknya sudah terbiasa mengakali masyarakat dengan cara seperti ini. Dalam menyikapi harga BBM, misalnya. Di saat harga Pertamax dinaikkan beberapa waktu lalu, pemerintah justru membatasi pembelian Pertalite.
Bahkan kabarnya, pemerintah dan Pertamina berniat untuk menghapus varian Pertalite, alias secara tidak langsung memaksakan konsumsi varian Pertamax kepada semua konsumen. Logikanya, pemerintah berani menaikan harga tetapi menutup opsi bagi masyarakat untuk berpaling ke barang penggantinya.
Bukankah ini kebijakan yang kejam? Alasan higienitas dan kesehatan masyarakat hanyalah pencitraan palsu untuk melegitimasi penghapusan minyak goreng curah. Dengan halus memaksa masyarakat untuk menelan bulat-bulat minyak goreng kemasan sebagai satu-satunya alternatif yang ada untuk aktivitas menggoreng dengan janji bahwa harga minyak goreng kemasan akan stabil di angka tertentu.
Jadi, sebenarnya yang dilakukan oleh pemerintah bukanlah membenahi tata kelola minyak goreng agar harganya stabil dan dapat dijangkau seluruh kalangan masyarakat, tetapi justru menyerahkannya kepada mekanisme pasar yang selama ini dikuasai oleh para oligarki pengusaha minyak goreng kemasan.
Seperti inilah kejamnya kebijakan ekonomi neoliberalisme. Menyerahkan harga minyak goreng kemasan melalui mekanisme pasar. Negara lepas tangan dan tidak berkutik karena mendapat tekanan dari para pengusaha yang berkuasa menentukan harga minyak goreng di pasaran.
Sangat berbeda tata kelola minyak goreng dalam Islam. Bila dalam ekonomi neoliberalisme minyak bisa dikuasai swasta, tetapi dalam pandangan Islam minyak tidak boleh dimiliki secara personal karena sawit termasuk kategori sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya yang melimpah dalam Islam merupakan kepemilikan umum yang pengelolaannya diserahkan pada negara berdasarkan hadis berikut:
“Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majlis, ‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda: ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya’”. (HR. Tirmidzi)
Semua yang dikelola negara hasilnya ditujukan untuk kepentingan umum. Sehingga hasil olahannya pun bisa diberikan secara cuma-cuma untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak, termasuk dalam hal pengelolaan kelapa sawit yang akan diproses menjadi minyak goreng. Negara akan berpikir keras bagaimana agar umat mudah mendapatkanya, dan kalau dijual pun harganya sangat terjangkau.
Karena pengelolaannya ada di tangan negara, maka ketika harga minyak dunia naik, harga minyak di dalam negeri tidak akan ikut naik. Karena tujuan pengelolaan ini adalah untuk kesejahteraan seluruh masyarakat, bukan untuk kepentingan para pengusaha-pengusaha minyak seperti yang terjadi hari ini.
Selanjutnya, Islam juga memperhatikan masalah distribusi. Berbicara masalah distribusi minyak, ini juga berkaitan dengan masalah kepada siapa saja minyak itu diberikan dan berapa harga minyak di pasaran. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi penyimpangan dalam pendistribusian minyak di masyarakat. Karena bila terjadi penyimpangan di pasar akan menyebabkan melambungnya harga minyak tersebut.
Maka, Islam pun memiliki mekanisme operasi pasar, di mana setiap produsen minyak langsung dipastikan bisa berhubungan dengan pedagang di pasar. Sehingga minyak yang sudah diproduksi harus langsung terdistribusi pada penjual tanpa harus ditimbun terlebih dahulu. Islam melarang adanya penimbunan barang karena akan membuat barang langka dan pedagang besar pun menjadi bebas menaikkan harga sesuai keinginan mereka.
Begitulah sedikit gambaran tata kelola minyak goreng dalam Islam. Yang menjadi masalah sebenarnya bukanlah keberadaan minyak goreng curah ataupun kemasan. Karena masalah higienitas sebuah produk pangan memang sudah menjadi urusannya negara. Masalah utamanya adalah bagaimana tata kelola minyak tersebut agar dapat dinikmati oleh masyarakat dengan harga yang sangat terjangkau. Tata kelola minyak goreng dalam Islamlah yang mampu menyelesaikan masalah hari ini. Wallahualam bissawab. (*)