SUMBER, fajarsatu.- Keluarnya Peraturan Tekhnis (Pertek) Badan Pertanahan Nasional (BPN) membuat sejumlah pengembang perumahan merugi hingga miliaran rupiah. Terlebih lagi bagi mereka (pengembang) yang sudah mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Bahkan, saat ingin mengajukan sertifikat induk yang diperuntukan oleh pengembang perumahan untuk membangun, pihak BPN menolak dengan alasan lokasinya menyalahi aturan.
“BPN acuannya dari mana sampai tidak menerbitkan sertifikat induk. Sementara saat pengukuran lahan, pihak BPN tidak ada menyinggung masalah Pertek. Harusnya sejak awal BPN menyarankan bahwa lokasi kami tidak sesuai RTRW. Jelas kami rugi milliaran karena tidak bisa menjual unit,” ungkap Mahfud. AR, salah seorang pengembang di Kabupaten Cirebon, Minggu (24/11/2019).
Mahfud menjelaskan, kerugian yang diderita sejak BPN mengeluarkan Pertek kurang lebih sekitar Rp 3,5 milliar. Jumlah tersebut sangat besar karena harus memakai dana talangan, sementara beberapa unit rumah yang berdiri di atas lahan seluas 10.385 meter di Desa Pasaleman Blok Galeuh dan Peneresan Kecamatan Pasaleman Kabupaten Cirebon yang dimilikinya terlanjur dibangun.
Dilain pihak, konsumen selalu meminta kunci. Namun pihak BPN tidak bisa mengeluarkan sertifikat induk. Dirinya khawatir, konsumen merasa ditipu oleh perusahaannya.
“Saya dan sebagian kawan kawan pengembang menyalahkan BPN. Mau aturan seperti apapun, kami ini sudah punya IMB. BPN harusnya taulah dan tidak beralasan ada Pertek. Bupati harus secepatnya turun tangan. Ini persoalan serius dan tidak bisa dianggap sepele,” jelas Mahfud.
Hal senada dikatakan Bambang Surya. Menurutnya, dia baru saja membenaskan lahan untuk TPU perumahan. Namun saat hendak mengurus izin ke Lingkungan Hidup masalah site plane, ternyata kembali mentok di Pertek BPN.
Padahal Pertek sudah di acc salah satu kasi. Anehnya saat diajukan ke Kepala BPN, kepala BPN tidak menyetujui dengan alasan tidak sesuai RTRW.
“Ini kan aneh. Pemkab sudah oke, tapi masuk ke BPN, Perteknya tidak menyetujui. Berarti Pemkab Cirebon fungsinya apa. Harusnya RTRW yang dimiliki BPN singkron dengan milik Pemda. Terus, BPN acuannya RTRWnya dari mana kalau bukan dari Pemda. Saya rugi lebih dari Rp 1 miiar,” jelas Bambang.
Kepada media, baik Mahfud, Bambang dan sebagian pengembang berharap, Bupati Cirebon segera mengambil langkah agar persoalan tersebut tidak menjadi polemik. Mereka tidak ingin terlalu banyak pertemuan, antara Pemkab dan BPN. Hal itu hanya akan memperlambat proses dan malah menghambat investasi di Kabupaten Cirebon.
Sementara itu, lewat telepon selulernya, Bupati Cirebon Imron Rosyadi menilai bahwa Pertek menghambat investasi dan perlu di kaji ulang. Alasannya, aturan tersebut tak sejalan dengan zona yang ditetapkan Pemkab Cirebon.
Padahal, Pemkab ingin mempercepat proses pembangunan, salah satunya dengan dimudahkannya proses perizinan.
“Kita ingin investor yang masuk di Kabupaten Cirebon dipermudah proses perizinannya sesuai dengan aturan yang telah dibuat, tanpa menabrak aturan,” jelas Imron.
Dari hasil rapat dengan BPN serta unsur forkopimda dan beberapa SKPD terkait, di pendopo Bupati beberapa waktu memang belum ada titik temu. Padahal, didalam peta pemerintah daerah sendiri tidak ada larangan. Namun, terganjal di pertek.
“Munculnya Pertek BPN merugikan Pemkab Cirebon. Investor yang akan masuk ke sini pasti akan ragu karena banyak hambatan. Nanti kita akan kembali mengadakan pertemuan untuk mencari solusi terbaik tanpa melanggar aturan,” tukasnya.
Seperti beberapa kali diberitakan, puluhan pengembangan perumahan di Kabupaten Cirebon dan beberapa investor lainnya, saat ini was-was.
Perizinan yang sudah ditempuh sesuai mekanisme ke Pemkab Cirebon, terancam gagal karena muncul Pertek di BPN. Ketidak singkronan BPN dengan Pemkab masalah RTRW menjadi salah satu pemicu utama. Ironisnya, RTRW yang dimiliki BPN kabarnya mengacu pada RTRW tahun 2001.
Saat inipun, puluhan investor yang mengajukan alih fungsi lahan maupun advice planing, sudah tidak ditanggapi lagi baik oleh Dinas Pertanian maupun Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DPUPR) Kabupaten Cirebon. Alasannya cukup logis, mereka tidak mau disalahkan investor kalau saja sudah keluar izin, namun tetap ditolak BPN. (FS-7)