Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Merawat Indonesia”
Kalau pejabat menghina rakyatnya dianggap bercanda dan hal biasa. Tapi kalau rakyat menagih haknya dianggap menghina dan dipidana. Oh pejabat tuna adab, bertaubatlah dan kembalilah ke jalan yang benar!
Kalau pejabat menghina rakyatnya cukup minta maaf saja. Tapi kalau rakyat menuntut haknya bakal dipidana dan dipenjara. Oh, begitulah ketika pejabat kehabisan saldo akhlak. Membuat siapapun marah, jijik dan muak.
Begitulah realitas kehidupan di sekitar kita. Bangsa dan negara kita Indonesia. Pejabat begitu pandai beretorika untuk membebaskan diri sekaligus membela diri. Memalukan dan benar-benar tak pantas dijadikan rujukan!
Pejabat yang mestinya jadi teladan kebaikan malah jadi binatang rakus, serakah dan angkuh. Pejabat semacam itu pun benar-benar bagai dubuk. Pejabat bermental binatang. Panggung mulia diubah jadi panggung cela.
Sampai kapan negeri ini bebas dan bersih dari laku pejabat usang semacam itu? Kapan kita melawan mereka yang diberi mandat malah sibuk bersilat lidah? Gaji begitu besar dari pajak rakyat, mubazir alias sia-sia begitu saja.
Figur diri yang akrab dengan publik luas dan akrab dengan panggung agama tak mampu menghalangi diri dari tingkah tak pantas. Justru seperti menjadi bencana terpelihara. Baju terperdaya nyatanya tipuan belaka.
Bahkan, panggung suci kerap dijadikan pesta pora untuk mengucapkan celaan pada yang berbeda latar, bahkan mereka yang papa. Bukan untuk menjemput cahaya dan hidayah. Bukan untuk berbenah dan perbanyak doa.
Forum yang mestinya tempat mengais ilmu dan energi untuk beramal baik justru dikotori oleh sikap arogan dan hinaan berbalut canda. Candaan bersenyawa hinaan dianggap biasa? Oh, betapa keroposnya jiwa semacam itu.
Tepuk tangan, tawa ria dan salut seru pada ungkapan senonoh dan tak pantas malah dirayakan begitu rupa, tanpa ada rasa malu. Mungkin punya, tapi tertutup amplop basah. Benar-benar panggung undang bencana.
Label ulama, kiai dan penceramah tak cukup bertenaga untuk membentengi diri dari penyakit dunia yang berbahaya: sombong! Justru menyayat jiwa dan tingkah tak perlu. Sehingga tak berdampak pada jiwa tenang.
Maaf iya, tapi maaf yang dipaksa dan tak terbangun dari kesadaran jiwa adalah bentuk hinaan baru yang tak pantas dipuji dan dipuja. Apa makna maaf bila dilakukan karena terdesak media dan koreksi sana sini?
Faktanya, ucapan celaan kerap dilakukan di banyak forum. Hanya saja belum atau tidak viral. Kali ini viral dan dilawan manusia sejagat. Biasanya dianggap hebat, tapi undang laknat. Benar-benar tak elok dan melumat kepantasan.
Oh pejabat bermental dubuk. Kapan kalian sadar dan berbenah diri untuk sekadar menyadari bahwa jabatan bukan kemuliaan? Kalian ada di atas sana karena jasa mereka yang di bawah sana, bukan karena kalian!
Ingat, jabatan adalah amanah, bukan barang mewah. Ia adalah titipan, bukan milik pribadi dan warisan. Jabatan itu ujian dan cobaan, bukan hadiah dan pemberian sang tuan. Berhentilah, atau kalian terusan jadi dubuk! (*)