SUMBER, fajarsatu.- Acara haul Almaghfulah KH. Makhtum Hannan yang ke-3 serta haul istighosah kubro yang ke-23, diisi dengan berbagai kegiatan. Salah satunya yang digelar halaqoh kebangsaan dengan menghadirkan Khatib Aam PBNU, KH. Yahya Cholil Tsaquf dan KH. Abdus Syukur Yasin, MA dari ponpes Cadangpinggan Indramayu.
Masyarakat terlihat antusias dan berbondong-bondong hadir di acara tersebut. Tak luput para kiai di Ponpes Babakan, Ciwaringin serta kiai kampung seluruh Cirebon datang.
Beberapa ketua umum dan ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Cirebon, PCNU Wilayah III Cirebon dan beberapa PCNU Jawa Tengah turut hadir.
Acara tersebut berlangsung di Ponpes Masyariqul Anwar Desa Babakan Kecamatan Ciwaringin Kabupaten Cirebon, Minggu (26/1/2020).
Pada pertemuan halaqoh itu tema yang dibahas adalah peran historis NU dalam mengawal dan menjaga kedaulatan Negara Indonesia. Mafhum diketahui bahwa kiprah ulama-ulama NU dalam pembentukan negara ini tidak bisa dipandang sebelah mata, bahkan keberadaan dan peran NU sangat penting bagi perdamaian dan kemerdekaan negara-negara di dunia.
Seperti yang disampaikan pemateri kegiatan tersebut, KH. Yahya Cholil bahwa peperangan sektarian yang terjadi di Timur Tengah sebagai akibat dari kurangnya pemahaman kontekstualisasi dengan keadaan sekarang, sehingga menimbulkan ajaran yang tidak maslahat dari pada fiqh tersebut, mereka paham teks namun tidak paham konteks.
“Apa yang tertulis mengenai perbudakan dan ketertindasan perempuan yang lazim ditemui dalam kitab-kitab fiqh klasik sebagai bukti kita belum ingin beranjak untuk membangun perdamaian dunia,” katanya.
Gus Yahya lebih jauh menawarkan fiqh peradaban (fiqh al-hadlarah) untuk umat Islam saat ini, dimana nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan menjadi muatan utama. Situasi global yang tidak menentu sekarang menunggu kiprah NU, terutama terhadap yang terjadi di timur tengah.
Hal yang sama disampaikan Buya Syakur, Indonesia dengan Islamnya masih lebih baik dari pada apa yang terjadi sekarang di Timur Tengah. Namum miris bahwa rupanya masyarakat Indonesia banyak yang terjangkit sebagai Arab Syndrome, yaitu ketidakpercayaan muslim Indonesia dengan corak keislaman mereka.
“Mereka lebih suka menggunakan istilah Arab dibandingkan bahasa sendiri, seperti banyak orang yang protes kepadanya ketika mengatakan bahwa hukum itu kondisional, namun tidak mendapatkan protes serupa ketika ia mengatakan “al-hukmu yaduru ma’a illatihi”, begitupun dengan sosok pahlawan, mereka cenderung bangga dengan khalid bin Walid ketimbang pahlawan nasional seperti jendral sudirman,” papar Buya Syakur.
Dikatakan Buya Syakur, bahkan mereka juga lalai dengan peran dan kiprah kiai-kiai di kampung mereka. Maka dari itu acara halaqoh yang kemudian dilanjutkan haul, membuat kita diingatkan kembali bahwa seorang kiai Babakan, Alm. KH. Makhtum Hannan telah memberi teladan yang baik bagi kita untuk peduli terhadap problem sosial-kebangsaan.
Masih menurut Buya Syakur, Indonesia membutuhkan fiqh Nusantara yang adaptatif dengan kebudayaan dan keseharian ubudiyah umat muslim di Indonesia, banyak kitab-kitab fiqh yang perlu untuk dikritisi ulang karena relevansinya jauh dari keseharian masyarakat.
“Karena lazim diketahui bahwa orang Arab menganggap orang islam di Indonesia kurang “berhak” untuk berbicara tentang Islam hanya karena tidak bisa berbahasa Arab. Maka fiqh kebudayaan atau fiqh nusantara sebagai pembuktian bahwa umat islam di Indonesia juga bisa berbicara tentang Islam.” Pungkasnya. (FS-4)