LEMAHWUNGKUK, fajarsatu – Tidak jauh dari Keraton Kasepuhan terdapat sebuah masjid bernama Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Masjid bersejarah yang dibangun oleh para wali di masa Sunan Gunung Jati ini berdiri di luar Komplek Keraton Kaepuhan.
Masjid Agung Sang Cipta Rasaini merupakan masjid tertua di Kota Cirebon. Masjid yang dibangun pada 1480 oleh beberapa Wali Songo antara lain Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati.
Pada awalnya Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon disebut Masjid Pakungwati karena berada di dalam komplek Keraton Pakungwati (kini Keraton Kasepuhan). Pakungwati diambil dari nama Nyi Mas Pakungwati, puteri tunggal Pangeran Cakrabuana (Raden Walang Sungsang) bin Raden Pamanah Rasa (Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja).
Nyi Mas Pakungwati adalah pewaris tunggal tahta Keraton Caruban Larang, oleh ayahandanya dinikahkan dengan sepupunya sendiri yang tak lain adalah Sunan Gunung Jati yang kemudian naik tahta sebagai Sultan Pertama Kesultanan Cirebon.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa merupakan salah satu masjid di Pulau Jawa yang dibangun oleh para wali. Di dalam masjid ini di lokasi mihrabnya terdapat tiga buah batu tegel lantai khusus yang dulunya dipasang oleh masing-masing Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga.
Tiga buah tegel tersebut masing masing menyimbolkan Iman, Islam dan Ikhsan, simbolisasi yang sama dengan tiga susun atapnya.
Adalah Raden Sepat yang diutus Raden Fatah Sultan Demak untuk turut membantu pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Raden Sepat adalah seorang mantan Panglima Pasukan Majapahit yang memimpin pasukannya menyerbu Demak pada saat Demak baru berdiri sebagai Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa.
Penyerbuan yang berahir dengan kekalahan. Raden Sepat tak pernah kembali ke Majapahit bersama sisa pasukannya beliau mengikrarkan diri masuk Islam dan bergabung dengan Kesultanan Demak.
Bangunan utama (asli) Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki Sembilan Pintu menyimbolkan Sembilan Wali (Wali Songo) yang turut berkontribusi aktif dalam proses pembangunannya.
Pintu utamanya berada di sisi timur sejajar dengan mihrab, namun pintu utama ini nyaris tak pernah dibuka kecuali pada saat sholat Jumat, sholat hari raya dan peringatan hari hari besar Islam.
Delapan pintu lainnya ditempatkan di sisi kanan dan kiri. Delapan pintu tersebut berukuran sangat kecil dibandingkan ukuran normal sebuah pintu, memaksa orang dewasa untuk menunduk saat akan masuk ke dalam masjid, meyimbolkan penghormatan dan merendahkan diri dan hati manakala memasuki masjid.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki sokoguru tidak hanya empat tapi dua belas. Semua tiang tersebut terbuat dari kayu jati dengan diameter sekitar 60 cm dan tinggi mencapai 14 meter. Mengingat usianya yang sudah sangat tua, seluruh sokoguru di dalam masjid ini sudah ditopang dengan rangkaian besi baja untuk mengurangi beban dari masing masing pilar tersebut, hanya saja kehadiran besi besi baja tersebut sedikit mengurangi estetika.
Di beranda samping kanan (utara) masjid, terdapat sumur zam-zam atau Banyu Cis Sang Cipta Rasa yang ramai dikunjungi orang, terutama pada bulan Ramadhan. Selain diyakini berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit, sumur yang terdiri dari dua kolam ini juga dapat digunakan untuk menguji kejujuran seseorang.
Layaknya sebuah masjid kerajaan, di Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini juga disediakan tempat sholat khusus bagi keluarga kerajaan atau maksurah berupa area yang dipagar dengan pagar kayu berukir.
Ada dua maksurah di dalam masjid ini. satu maksurah di shaf paling depan sebelah kanan mihrab dan mimbar diperuntukkan bagi Sultan dan Keluarga keraton Kasepuhan. Serta satu Maksurah di shaf paling belakang disamping kiri pintu utama diperuntukkan bagi Sultan dan keluarga Keraton Kanoman.
Selain dua maksurah, ada dua mimbar di dalam masjid ini yang bentuk dan ukurannya sama persis. Mimbar yang kini dipakai merupakan mimbar pengganti, disebelah kanan mimbar ini terdapat maksurah dan disebelah kanan maksurah mimbar lamanya ditempatkan.
Konon, Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun sebagai pasangan dari Masjid Agung Demak. Pada saat pembangunan Masjid Agung Demak, Sunan Gunung Jati meminta izin untuk membangun pasangannya di Cirebon.
Bila Masjid Agung Demak dibangun dalam watak arsitektur maskulin, maka Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun dalam watak arsitektur feminim.
Ada tradisi yang hingga saat ini masih dipertahankan di masjid ini, yakni tujuh muazin mengumandangkan adzan secara bersamaan atau lebih dikenal sebagai adzan pitu.
Konon, pada zaman dahulu menjelang sholat subuh, masjid ini diganggu oleh Aji Menjangan Wulung yang datang menebarkan petaka. Beberapa muazin yang mencoba mengumandangkan adzan tewas dihajar olehnya.
Untuk mengusir Aji Menjangan Wulung, Sunan Gunung Jati memerintahkan tujuh muazin mengumandangkan adzan secara bersamaan. Hingga kini adzan pitu tetap dilaksanakan di masjid ini sebagai adzan menjelang sholat Jumat oleh tujuh muazin sekaligus dalam pakaian serba putih. (irgun)