INDRAMAYU, fajarsatu – Bupati Indramayu, Nina Agustina Da’i Bachtiar melalui DP3A Kabupaten Indramayu meminta agar layanan pengaduan melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) bekerja secara optimal.
Menurutnya,P2TP2A merupakan salah satu bentuk wahana pelayanan bagi perempuan dan anak dalam upaya pemenuhan informasi dan kebutuhan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, perlindungan dan penanggulangan tindak kekerasan, serta perdagangan terhadap perempuan dan anak.
“Masyarakat diharapkan untuk tidak segan-segan melapor melalui P2TP2A pada Dinas P3A apabila mengalami tindak kekerasan,” tandas Nina saat memberikan Sosialisasi Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Desa Totoran, Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu, Selasa (28/9/21).
Sementara, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Indramayu, Sri Wulaningsih menekankan pentingnya memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang upaya pencegahan tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan masalah yang kompleks dan ancaman yang nyata baik secara fisik maupun non-fisik,” kata Wulan.
Menurutnya tingginya angka kemiskinan, banyaknya pengangguran dan angka putus sekolah, serta rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar masyarakat Indonesia khususnya perempuan dan anak, merupakan faktor utama dan rentan menjadi korban KDRT.
“Kekerasan terhadap perempuan dan anak di antaranya meliputi kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikis atau psikologis, dan kekerasan seksual,” kata Wulan
Wulan menjelaskan, apabila hal ini tidak segera diantisipasi, maka akan mengganggu upaya pemulihan hak-hak perempuan dan anak seperti hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan perlindungan serta hak untuk bersosialisasi di lingkungannya.
“Sedangkan dampak KDRT sangat kompleks. Dalam banyak kasus, kata Wukan, KDRT akan mempengaruhi ketahanan individu maupun ketahanan keluarga,” jelasnya.
Lanjutnya, Komnas Perempuan Indonesia mendefinisikan kekerasan adalah segala tindakan yang mengakibatkan kesakitan yang meliputi empat aspek, yaki fisik, mental, sosial dan ekonomi. Begitu juga kekerasan dalam rumah tangga yang mungkin menimpa istri, suami, ibu, anak, pembantu rumah tangga atau siapa pun yang hidup dalam satu rumah. Namun, Wulan mengakui, perempuan lebih banyak mengalami KDRT.
Ketua Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Cabang Indramayu, Yuyun Khoirunissa yang menjadi pembicara kedua menyampaikan, pentingnya upaya pencegahan terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga melalui penundaan usia perkawinan. Yuyun menyatakan, perkawinan anak merupakan gerbang kekerasan.
Menurutnya, perkawinan anak merupakan hal yang kompleks. Banyak permasalahan yang melatarbelakangi terjadinya perkawinan anak, di antaranya adalah faktor kemiskinan, minimnya edukasi kesehatan reproduksi pada remaja, tingkat pendidikan rendah, serta pergaulan beresiko.
“Perkawinan anak akan berdampak pada berbagai hal seperti timbulnya kemiskinan, risiko kematian ibu dan bayi, bayi lahir prematur atau berat badan lahir rendah (BBLR), stunting atau gizi buruk, tingginya angka perceraian, serta kemungkinan terjadinya KDRT,” terangnya.
Tambahnya, selain itu perkawinan anak juga akan mengakibatkan dampak buruk pada mereka yang melakukannya. Laki-laki maupun perempuan yang melakukan perkawinan anak akan mengalami putus sekolah atau dropt out (DO) dari sekolah, kehamilan berisiko tinggi, dewasa sebelum waktunya, berisiko menghambat tumbuh kembangnya, peluang menjadi pelaku atau korban KDRT, eksploitasi seksual, pengangguran atau pekerja dibayar rendah, tidak siap mental dan pengetahuan.
“Untuk itulah pentingnya diadakan sosialisasi kepada masyarakat untuk menunda perkawinan demi menghindari dampak buruk yang akan terjadi,” ujarnya.
Yuyun berharap, semakin banyak masyarakat yang menyadari dan memahami pentingnya menunda perkawinan anak untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. (ziko/mag)