Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Merawat Indonesia”
DUA dari beberapa provinsi yang mendapatkan perhatian khusus pemerintah pusat selama ini adalah NTB dan NTT. Tak sedikit proyek, program dan kegiatan nasional bahkan internasional yang diselenggarakan di dua kawan ini. Bagaimana pun, keduanya kaya akan destinasi wisata dalam beragam bentuk. Kemolekan Mandalika, Pantai Kuta, Pantai Senggigi, Taman Nasional Komodo (TNK), Pantai Pink serta beberapa objek wisata lainnya membuat kawasan ini menjadi tempat tujuan wisata yang diburu wisatawan, baik lokal maupun asing.
Bila NTB beberapa waktu lalu sukses mengadakan balap motor GP di Mandalika, maka NTT sukses mengadakan pertemuan negara-negara G20 dan KTT ASEAN di Labuan Bajo. Tak heran bila pemerintah pusat pun memberi perhatian lebih untuk beberapa event tersebut. Berbagai sarana dan prasarana yang dibutuhkan pun disiapkan untuk memastikan event-event global tersebut berjalan lancar dan berdampak baik secara ekonomi bagi masyarakat setempat bahkan bagi Indonesia.
Suksesnya penyelenggaraan event internasional di Mandalika dan Labuan Bajo membuat dua tempat ini semakin menjadi buah bibir dan dikenal seluruh masyarakat Indonesia bahkan dunia. Tak heran bila beberapa pemimpin negara ASEAN berdecak kagum dan berjanji akan datang berkunjung kembali untuk waktu yang lebih lama. Labuan Bajo, misalnya, menjadi tempat baru yang bakal kembali dikunjungi oleh pemimpin Singapura, Philipina dan Malaysia sebagaimana yang diberitakan oleh berbagai media menjelang acara KTT ASEAN berakhir.
Kita sebagai masyarakat Indonesia bahkan saya sebagai warga asli Manggarai Barat yang kini berdomisili di Jawa Barat pun merasa harus dan bangga atas capaian-capaian semacam itu, baik event yang diadakan di NTB maupun di NTT. Bagaimana pun, kedua kawasan ini merupakan kawasan yang sangat bersejarah dalam kehidupan saya. Bila pendidikan sekolah dasar (SD) saya diselesaikan di Manggarai Barat (1990-1996), maka pendidikan SMP (MTs) dan SMA (MA) saya diselesaikan di Lombok Barat (1996-2002).
Namun kesuksesan beberapa event tersebut sepertinya tercederai oleh fakta pelayanan transportasi laut di kawasan ini, terutama jalur Sape-Labuan Bajo atau sebaliknya. Bayangkan tak sedikit penumpang yang terdampar beberapa hari hanya karena menanti kapal tiba. Kejadian semacam ini terjadi berkali-kali, bukan sekali saja. Suara protes masyarakat melalui berbagai media terutama media sosial pun seperti tak digubris. Padahal pelayanan publik di sektor ini bila ditunaikan dengan baik akan berdampak pada perbaikan pendapatan daerah dan ekonomi masyarakat.
Saya berpandangan Pemerintah NTB dan NTT tutup mata pada pelayanan publik khususnya transportasi Sape-Labuan Bajo, atau sebaliknya. Kapal yang melayani penumpang untuk tujuan keduanya hanya satu yang beroperasi. Padahal jumlah penumpang dari waktu ke waktu semakin meningkat jumlahnya. Mengapa pemerintah provinsi (NTT dan NTB) dan pemerintah kabupaten (Manggarai Barat dan Bima) tidak berinisiatif untuk menuntaskan hal-hal yang berhubungan langsung dengan hajat hidup masyarakat semacam ini?
Bila saja mereka yang berwenang lebih sensitif, peduli dan punya kemauan yang kuat maka masalah sederhana semacam itu dapat terselesaikan dengan baik. Misalnya, pemerintah provinsi dan kabupaten duduk bersama lalu membincang hal semacam ini lalu sampaikan ke pemerintah pusat atau kementrian terkait. Bila perlu sampaikan usulan langsung kepada Presiden Joko Widodo. Tidak perlu berlama dan panjang-lebat, langsung saja: “Maaf Pak Presiden, kami butuh lima kapal penumpang. Mohon berkenan agar menjadi perhatian prioritas.”
Namun kondisi semacam ini sudah kerap terjadi. Betul ada beberapa kapal yang kerap beroperasi, namun sering kali yang terjadi masalah pelik: hanya satu kapal yang beroperasi dengan berbagai alasan misalnya kapal dalam perawatan dan sebagainya. Setahu saya di Pelabuhan Kayangan (Lombok) ada begitu banyak kapal, begitu juga di pelabuhan penyeberangan di Bali dan Jawa. Sederhananya, kalau pemerintah di dua provinsi ini buka mata, mestinya pelayanan publik tidak kacau balau seperti ini. Masa iya kapal yang melayani transportasi Sape-Labuan Bajo, atau sebaliknya hanya satu kapal? Ke mana para pejabat atau dinas terkait? Ke mana para wakil rakyat dari daerah pemilihan (Dapil) setempat?
Kalau Presiden Joko Widodo tahu kondisi ril kapal jasa pelayanan atau transportasi umum dari Sape menuju Labuan Bajo atau sebaliknya, mungkin beliau bertanya: “ke mana dan untuk apa saja prioritas anggaran selama ini?” Bahkan mungkin Presiden bakal geleng-geleng kepala, betapa buruknya pelayanan publik khusus transportasi laut untuk Sape-Labuan Bajo atau sebaliknya. Bagaimana pun, selama ini khususnya Labuan Bajo sudah mendunia, tapi fasilitas sekaligus pelayanan publiknya masih memalukan dan bikin kita mengelus dada. Padahal yang dibutuhkan sangat sederhana yaitu kapal penumpang, bukan foto selfi pejabat lokal dan nasional yang sering kali sekadar basa-basi! (*)