Oleh: Ihsanuddin SE.I
Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi Islam SEBI / Sekretaris Umum PUI Kabupaten Cirebon
MUKTAMAR ke-15 Persatuan Ummat Islam (PUI) di Medan, 13–17 Mei 2025, mengusung tema besar “Membangun Kemandirian, Memajukan Indonesia.” Salah satu langkah konkret yang diluncurkan adalah Gerakan Nasional Wakaf Pangan (GNWP) — program berbasis wakaf produktif untuk membangun ketahanan pangan. Hal ini menegaskan bahwa PUI tengah bergerak menuju transformasi kelembagaan, termasuk dalam pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF).
Salah satu isu krusial yang patut menjadi fokus utama adalah reformasi tata kelola zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF) —instrumen keuangan sosial Islam yang memiliki daya ungkit besar bagi kemandirian umat dan pembangunan nasional. Berdasarkan data dari Puskas BAZNAS (2022), potensi zakat nasional mencapai Rp327 triliun, sedangkan potensi wakaf tunai diperkirakan Rp180 triliun per tahun (BWI, 2021).
Sebagai ormas Islam dengan akar sejarah yang kuat sejak 1952, PUI memiliki jaringan pendidikan dan sosial yang sangat luas. Berdasarkan data resmi, PUI saat ini mengelola lebih dari 600 lembaga pendidikan formal dari jenjang RA/TK, MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA, hingga pondok pesantren dan kampus.
Ribuan kader aktif di bidang dakwah, sosial, pendidikan, dan pemberdayaan umat. (Sumber: pui.or.id/lembaga-pendidikan-pui).
Potensi jaringan ini luar biasa untuk menjadi basis transformasi pengelolaan ZISWAF yang strategis dan terstruktur. Sayangnya, pengelolaan realisasi penghimpunan zakat, infak, dan wakaf masih sangat kecil, seringkali karena keterbatasan kelembagaan dan sistem tata kelola. Namun, beberapa tantangan utama masih perlu dihadapi, seperti belum optimalnya penghimpunan dan pengelolaan Ziswaf PUI, belum maksimalnya digitalisasi penghimpunan dan distribusi, kecenderungan program bersifat karitatif dibanding produktif.
Pasca Muktamar, PUI memiliki momentum untuk mengoptimalakan dan mentransformasi pengelolaan ZISWAF berbasis tiga pilar strategis. Pertama, Tata Kelola Modern Berbasis Syariah dan Teknologi. PUI perlu mendorong semua lembaga ZISWAF internalnya untuk menggunakan standar pelaporan berbasis PSAK 109 (zakat) dan PSAK 112 (wakaf), mengadopsi sistem digital fundraising, serta memperkuat SDM dengan pelatihan profesional zakat dan manajemen wakaf. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci membangun kepercayaan publik (trust capital).
Kedua, Integrasi ZISWAF untuk Kemandirian Umat. Selama ini, pengelolaan ZISWAF sering terpisah dan bersifat karitatif. PUI bisa menjadi mengembangkan model ZISWAF terintegrasi untuk program produktif: Pengembangan Lembaga Pendidikan PUI, Zakat untuk UMKM mustahik, infak untuk pendidikan, wakaf untuk aset produktif. Contoh sukses dapat diambil dari Dompet Dhuafa dan Muhammadiyah yang telah menjalankan wakaf produktif berbasis pertanian, properti, dan pendidikan.
Ketiga, Sinergi dengan Pemerintah dan Ekosistem Syariah. PUI tidak dapat bekerja sendiri. Diperlukan kemitraan dengan BAZNAS, BWI, KNEKS,PERBANKAN SYARIAH dan fintech syariah untuk memperluas distribusi, literasi, dan pendampingan. Keikutsertaan aktif dalam platform kebijakan publik juga dapat mendorong regulasi yang lebih berpihak kepada lembaga ZISWAF ormas.
Dengan mengembangkan PUI ZISWAF Center pasca muktamar sebagai pusat koordinasi nasional zakat-infak-sedekah-wakaf berbasis digital, PUI tidak hanya memperkuat struktur kelembagaan, tetapi juga membuka jalan menjadi poros gerakan ekonomi Islam akar rumput yang kokoh. PUI harus mengambil peran strategis penggerak kemandirian umat dan kontribusi nyata dalam membangun Indonesia dari bawah. ZISWAF bukan hanya instrumen ibadah, tapi kekuatan ekonomi, sosial, dan politik umat yang perlu dikelola secara visioner. (*)