Oleh: Syamsudin Kadir
PENDIDIKAN keluarga adalah lingkup pendidikan pertama dan utama yang dialami oleh hampir setiap individu. Orangtua, Ayah dan Ibu sang anak adalah guru pertama bagi anak-anaknya. Bahkan, karena berbagai alasan yang rasional seperti kedekatan emosional dan darah, orangtua pun menjadi guru utama bagi anak-anaknya.
Maka menjadi orangtua yang pantas bagi anak-anak tidak berhenti pada hubungan nasab keturunan alias darah. Ia mesti diperkuat oleh hubungan kependidikan yang menjalankan peran dan fungsi mendidik bagi anak-anaknya. Tanggungjawabnya tak cukup dengan “menyekolahkan” atau “mengkuliahkan”.
Orangtua adalah penanggungjawab pertama dan utama berlangsungnya proses pendidikan bagi anak-anaknya. Sebagaimana galibnya, semua aspek mesti menjadi fokus utamanya. Bukan saja aspek ilmu pengetahuan dan wawasan, tapi juga moral dan mental bahkan pengembangan potensi unggulan anak-anak.
Terlihat ideal memang. Sebab keluarga tak boleh lagi dianggap sebelah mata atau dianggap tak punya peran dan fungsi apa-apa dalam pendidikan anak. Justru pada realitas yang kerap bermasalah seperti berbagai kasus yang di dalamnya anak-anak terlibat, maka keluarga sebagai benteng kehidupan individu anak sekaligus lembaga pendidikan pertama dan utama anak mesti mengambil peran dan tanggungjawab.
Bila pun kondisi lingkungan keluarga mengalami berbagai kendala dalam berbagai hal maka pemerintah dan masyarakat perlu melakukan berbagai pembenahan pada level struktural dan kultural. Lembaga terkait perlu melakukan penyuluhan dan pembinaan berbasis keluarga. Bukan melulu sarana dan prasarana, tapi infrastruktur mental dan moral pendidikan keluarga.
Bahkan saya berpandangan sepertinya perlu ada upaya sistematis dan praktis berjangka panjang. Sehingga memberi dampak luas dan menyentuh persoalan mendasar dalam pembinaan dan pendidikan keluarga. Selama ini fokus kita adalah pendidikan anak, lalu menepikan pembinaan atau pendidikan orangtua sebagai guru pertama dan utama anak.
Bahkan selama ini fokusnya hanya pada hukum keluarga seperti yang ada di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Itupun materi ajarnya berorientasi pada dunia kerja atau profesional. Bukan pada pendidikan keluarga sebagai lembaga pendidikan tertua dalam kehidupan umat manusia.
Jadi perlu ada langkah-langkah strategis dan praktis. Sekadar menyebut contoh, bila perlu perguruan tinggi mengadakan program studi atau jurusan khusus keluarga. Namanya bisa program studi atau jurusan Istri dan Suami Teladan, Rumah Tangga Idaman, dan masih banyak lagi. Bisa juga program studi atau jurusan Pendidikan Keluarga.
Rumpunnya pendidikan dan mata kuliah atau bahan ajar atau kurikulumnya disesuaikan dengan kebutuhan keluarga ideal, yang memungkinkan terciptanya generasi unggul sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional alias Sisdiknas dan keluarga ideal seperti yang diafirmasi dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Selama ini begitu banyak lembaga yang menyelenggarakan pendidikan. Namun yang belum tersentuh adalah pendidikan keluarga. Padahal ini adalah lembaga kunci dalam membentuk watak dan kepribadian anak. Anak yang terbentuk karakter baiknya di keluarga akan berdampak bagi terlahirnya generasi unggul yang sama-sama kita rindukan.
Tanpa bermaksud menepikan peran dan fungsi lembaga pendidikan formal yang selama ini sudah berjalan, pendidikan keluarga sepertinya perlu mendapatkan perhatian serius semua elemen. Jangan menganggap remeh lagi soal eksistensi pendidikan keluarga. Keluarga mesti dikonstruksi secara masal sebagai lembaga kunci melahirkan generasi unggul.
Bila perlu alokasi anggaran pembangunan jangan hanya fokus pada infrastruktur jalan atau kebutuhan instrumental pendidikan seperti sarana prasarana dan elemen lainnya. Mesti ada alihan khusus dan serius untuk penyelenggaraan pendidikan keluarga. Sebab pendidikan keluarga punya dampak langsung terhadap kualitas anak atau generasi.
Infrastruktur pendidikan keluarga mesti ditata secara menyeluruh dan serius. Stempel akademik yang kerap mewah tak perlu dijadikan satu-satunya instrumen menilai kualitas anak. Perangai anak di rumah juga mesti dijadikan instrumen penting. Tapi penilaiannya tidak seperti di sekolah, tapi berbasis aplikasi atau tingkah laku.
Proses semacam itu mesti menjadi tanggungjawab orangtua di keluarga. Orangtua tak lagi bangga menyekolahkan anak ke berbagai lembaga pendidikan lalu menepikan peran keteladanan di rumah. Anak disekolahkan ke lembaga pendidikan yang mengajarkan tentang moralitas, misalnya, namun di rumah anak malah tak mendapatkan keteladanan moralitas.
Pemikiran soal pendidikan keluarga memang bukan hal baru. Dalam khazanah keagamaan, terutama Islam, sudah ada konsep dan rumusan bakunya. Minimal konsep nilai dan rumusan perangkat kerjanya. Bahkan secara tegas dijelaskan bahwa orangtua adalah pendidik pertama dan utama anak.
Sebagaimana yang tertera dalam al-Quran surat at-Tahrim ayat 6, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
Bahkan sahabat nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, Anas, meriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Akrimu auladakum wa-ahsinu adabahum”, Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka. (HR. Ibnu Majah).
Namun akhir-akhir ini sepertinya kita semakin menjauh dari jejak dan narasi tentang pendidikan keluarga semacam itu. Orangtua bahkan kadang tidak menganggap ini sebagai tanggungjawab berdimensi ganda: dimensi dunia sekaligus dimensi akhirat.
Karena itu kalangan pendidik terutama para akademisi di berbagai perguruan tinggi perlu melakukan proses penyusunan konsep dan konstruksi konten dalam upaya membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya pendidikan keluarga. Perlu dibangun wacana dan isu yang mengarah pada kesadaran kolektif, bukan semata orangtua di rumah.
Bila memungkinkan, perguruan tinggi segera menyusun langkah-langkah strategis dan praktis tentang pendidikan keluarga. Bahkan yang lebih solutif dan paten, segera mendirikan atau membentuk program studi atau juruan khusus untuk itu. Semoga ada hati yang tersentuh dan tergerak serta berkenan menindaklanjutinya secara praktis. Menghadirkan program studi atau jurusan Pendidikan Keluarga, optimis bisa! (*)
(*) Penulis buku “Melahirkan Generasi Unggul”