Oleh: Daddy Rohanady
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat
TAHUN 2023 Provinsi Jawa Barat (Jabar) berusia 78 tahun. Dua puluh dua tahun lagi, usia Jabar sama dengan usia Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) genap 100 tahun. Itulah Tahun Emas bangsa ini, termasuk Jabar tentunya.
Pada tahun itu masyarakat Jabar diharapkan berkontribusi secara lebih besar lagi terhadap NKRI. Pada tahun itu jumlah penduduk Jabar diperkirakan sudah lebih dari 60 juta jiwa. Dengan jumlah sebanyak itu, Jabar diharapkan berkontribusi secara lebih positif dalam berbagai segi untuk turut serta memajukan bangsa Indonesia.
Pertanyaannya, apakah Jabar hanya akan mengandalkan keunggulan demografis? Tentu bukan itu yang diharapkan. Jabar telah melahirkan banyak tokoh yang berkiprah di kancah nasional maupun internasional. Para tokoh tersebut secara nyata telah turut mengharumkan NKRI sesuai dengan bidangnya masing-mnasing. Tentu saja kondisi tersebut diharapkan terus berjalan hingga Tahun Emas NKRI pada 2045.
Untuk mewujudkan keinginan mulia tersebut pasti bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan generasi muda yang siap menghadapinya. Para generasi muda itu diharapkan sudah mempersiapkan diri secara matang. Artinya, mereka harus mempersiapkan diri menghadapi segala tantangan zamannya.
Generasi muda Jabar saat ini harus menyongsong Tahun Indonesia Emas dengan bekal yang memadai. Mereka sangat amat tidak cukup jika hanya mengandalkan keunggulan demografis semata. Jadi, mereka harus menjadi generasi yang mumpuni sesuai dengan bidang yang mereka minati.
Generasi penerus Jabar memang harus dipersiapkan sejak dini. Mereka harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sesuai tuntutan zaman yang –suka tidak suka dan mau tidak mau—akan mereka hadapi. Namun, mereka juga harus dibekali iman dan takwa (imtak) agar tidak keluar dari8 norma-norma yang ada.
Memang masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus dibenahi. Beberapa masalah harus menjadi agenda pembangunan Jabar ke depan, semisal Indeks pembangunan Manusia (IPM). IPM memang menjadi salah satu tolok ukur yang lagi-lagi –suka tidak suka dan mau-tidak mau—harus menjadi target pembangunan Jabar.
IPM Jabar hingga akhir 2022 masih berada di peringkat ke-10 secara nasional. Itu berarti masih banyak PR yang harus dikerjakan, apakah itu terkait dengan pendidikan, kesehatan, laju pertumbuhan ekonomi, maupun bidang-bidang lainnya.
Masih banyak PR lain yang tidak kalah penting untuk diselesaikan oleh siapun gubernurnya, juga jajarannya, dan termasuk para anggota dewannya. Misalnya, terkait nilai tukar petani (NTP) dan tingkat pengangguran terbuka (TPT). Mengapa demikian? Ketiga tolok ukur tersebut sangat berpengaruh pada persentase penduduk miskin Jabar.
Hingga akhir tahun 2022, misalnya, NTP Provinsi Jabar adalah 99,75 persen. Artinya, menjadi petani di Jabar belum menjadi pilihan yang menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga secara ekonomis. Kehidupan petani di Jabar belum sebaik yang diharapkan oleh banyak dari mereka yang menjatuhkan pilihan profesinya dengan menggarap sawah. Padahal, mereka telah berkontribusi pada ketersediaan dan kecukupan pangan kita.
Demikian pula dengan TPT. Meskipun sudah tereduksi sebesar 1,51 persen, hingga akhir 2022 TPT Provinsi Jabar masih 8,31 persen. Dengan kondisi seperti itu, masih ada sedikitnya 4 juta masyarakat Jabar yang menjadi pengangguran terbuka.
Bisa dipastikan mayoritas dari para pengangguran itu adalah mereka yang berada di usia produktif. Artinya, sekian banyak potensi yang tidak tersalurkan. Padahal, bisa jadi dari tangan dan pemikiran mereka akan lahir berbagai karya yang dapat membanggakan –baik untuk Jabar pada khususnya maupun nasional pada umumnya.
TPT dan NTP sangat berpengaruh pada besaran persentase penduduk miskin. Hingga akhir tahun 2022 persentase penduduk miskin Jabar adalah 7,98 persen. Padahal, pada tahun 2022 Jabar menjadi penyerap penanaman modal asing (PMA) terbesar secara nasional.
Dari total PMA yang diserap Indonesia pada tahun 2022 yang mencapai Rp 826 triliun, Jabar menyerap PMA sebesar Rp 175 triliun. Serapan PMA sebesar itu semestinya mampu mereduksi TPT dengan menyediakan berjuta lapangan kerja. Besar kemungkinan PMA yang masuk ke Jabar adalah penanaman modal yang padat modal, bukan padt karya. Ketidaksinkronan itu menunjukkan bahwa masih ada yang kurang sinkron dengan kondisi eksisting.
Dengan jumlah penduduk terbanyak secara nasional, ada salah satu klausul menarik dalam Perda Nomor 9 Tahun 2022 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat. Perda tersebut mencantumkan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B) seluas 735.320 hektare. Luas tersebut diperhitungkan hasilnya melebihi kebutuhan pangan (beras) penduduk Jabar.
Hal ini bukan tanpa alasan. Fakta empiris di lapangan menunjukkan bahwa hingga akhir tahun 2022 Jabar masih menjadi lumbung padi nasional. Betapa tidak, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Subang merupakan tiga kabupaten penghasil padi terbesar secara nasional.
Artinya, Jabar merupakan provinsi yang berkontribusi pada ketersediaan dan kecukupan pangan secara nasional.
Dengan kondisi Jabar yang strategis membuat setiap langkah pembangunan pun menjadi sangat kompleks. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang diambil haruslah dengan pertimbangan yang komprehensif. Pada praktiknya, bukan hanya kepentingan Jabar yang mesti dicapai, kepentingan nasional pun mesti tetap diperhatikan.
Memang semua pembangunan pasti ada plus-minusnya. Salah satunya, alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan termasuk hal yang tidak mungkin dapat dihindari. Yang paling utama adalah apakah alih fungsi lahan itu menjadi lebih produktif atau sebaliknya. Apakah alih fungsi lahan terjadi pada lahan-lahan sawah beririgasi teknis, misalnya, atau pada lahan-lahan kritis yang dijadikan bagian dari lahan pertanian baru.
Pembangunan infrastruktur kerap kali dianggap berdampak negatif. Hal itu mungkin ada benarnya, tetapi tidak seratus persen. Benar jika hanya melihat sisi bahwa pembangunan tersebut menggerus lahan produktif tanpa menghasilkan sesuatu yang nilainya atau kepentingannya jauh lebih besar. Di sini masalahnya. Kita kerap berdebat soal manfaat tersebut. Oleh karena itu, sekali lagi, setiap kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan semestinya dilandasi pertimbangan yang benar-benar matang.
Infrastuktur Jabar sebenarnya terbilang cukup lengkap. Betapa tidak, Jabar memiliki banyak ruas jalan tol yang melingkari wilayahnya. Jaringan jalan tol yang ada hampir menghubungkan seluruh wilayah Jabar. Memang masih ada beberapa bagian yang tersisa. Misalnya menyambungkan sebagian sisi selatan bagian barat dan sisi timur bagian selatan ke arah Kota Bandung. Intinya, masih dibutuhkan penyambung sisi tengah-selatan Jabar.
Terkait pembangunan infrastruktur, banyak pihak masih mempersoalkan ketimpangan pembangunan Jabar Utara dan jabar Selatan. Sebenarnya sudah ada salah satu solusi tentang hal itu. Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2021 mengenai Percepatan Pembangunan Kawasan Rebana dan Kawasan Jawa Barat Bagian Selatan pada tanggal 9 September 2021.
Di dalam lampiran Perpres ini terdapat sejumlah program dan proyek untuk pembangunan Provinsi Jawa Barat, baik di wilayah utara maupun di wilayah selatan. Mungkin ada hal yang spesifik dalam Perpres tersebut, yakni pengembangan Wilayah Segitiga Rebana.
Selain pembangunan jalan tol, ada masalah Jabar terkait jalan arteri. Jabar memiliki jalan arteri milik provinsi yang panjangnya 2.362 km.
Sayangnya, lebih dari 50 persen dari total jalan sepanjang itu sudah habis umur rencana teknisnya. Selama ini yang dilakukan Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang mayoritas adalah pemeliharaan berkala. Memang ada sebagian ruas jalan yang direkonstruksi, tetapi masih sangat sedikit. Padahal, langkah pemeliharaan tersebut hanya akan merawat dan memperpanjang umur kemantapan jalan selama 4-5 tahun saja. Artinya, masih ada pula pekerjaan yang harus dilakukan terkait kondisi jalan milik provinsi itu.
Selain itu, meski masih banyak sarana lain yang harus dilengkapi, Jabar sudah memiliki bandara yang luasnya hanya sedikit di bawah Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng. Itulah Bandara internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati di Majalengka yang luas eksistingnya 1.040 haktare. Selain itu, ada pula Bandara Nusawiru di Kabupaten Pangandaran. Bandara Nusawiru dikelola oleh Dinas Perhubungan Provinsi Jabar. Jika menilik kewenangan yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Provinsi memang tidak memiliki kewenangan mengurus bandara.
BIJB Kertajati diamanati menjadi salah satu embarkasi di Indonesia. Dengan jumlah penduduk hampir 50 juta jiwa, Jabar merupakan pasar yang sangat potensial. Artinya, potensi orang datang dan pergi melalui jalur udara dari/ke Jabar bisa dipastikan jumlahnya tidak sedikit. Benar bahwa orang pergi haji hanya setahun sekali. Kuota Jabar juga terbatas sekitar 200 ribuan saja. Namun ada pasar yang jumlahnya sangat banyak dan bisa berangkat tanpa mengenal waktu.
Ketika waktu antrean untuk pergi haji sudah mencapai di atas sepuluh tahun, kaum muslimin Jabar akan memilih umrah (haji kecil). Pilihan berumrah memang menjadi pilihan paling logis bagi mereka yang merasa waktu tunggu hajinya terlalu lama. Belum lagi, mereka yang merasa jika waktu berhajinya tiba, ia akan tergolong risiko tinggi karena saat berhaji datang usianya tak muda lagi. Ibadah Umrah bisa dilakukan sepanjang tahun. Dengan demikian, jumlah jamaah umrah asal Jabar bisa dipastikan tidak sedikit.
Demikian pula dengan calon penumpang yang merupakan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang berasal dari Jabar. Dengan jumlah penduduk yang banyak dan jumlah pengangguran terbuka yang tidak sedikit, PMI menjadi pilihan yang dianggap menjanjikan. Oleh karena itu, PMI menjadi calon penumpang potensial yang akan menghidupi BIJB Kertajati. Selain itu, masih ada wisatawan mancanegara (wisman) dan wisatawan nusantara (wisnus) yang juga potensial mengunjungi berbagai objek daya tarik wisata unggulan di Jabar.
Memang moda transportasi udara bukan satu-satunya yang bisa digunakan ke dan dari Jabar. Terkait bidang kepelabuhanan, Jabar juga memiliki Pelabuhan Patimban di Kabupaten Subang yang bisa dibanggakan. Dengan status pelabuhan utama, salah satu kegiatan Pelabuhan Patimban adalah ekspor. Dengan adanya ekspor, pasti ada beberapa keuntungan dari keberadaan pelabuhan tersebut. Selain penyerapan tenaga kerja, Jabar juga diuntungkan dengan peluang bertambahnya Pendapatan Daerah dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dari pos pendapatan transfer bagi hasil pajak ekspor. Bahkan, bukan hanya Provinsi Jabar yang diuntungkan, Kabupaten Subang pun akan bertambah Pendapatan Daerah dalam APBD-nya.
Ada satu hal lagi yang tidak bisa dilupakan. Terlepas dari pro-kontra soal besaran utangnya, Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) memperkaya moda transportasi dari dan ke Jabar. Bahkan, provinsi Jabar memiliki berbagai sarana olah raga yang patut dibanggakan. Betapa tidak, banyak stadion besar di Jabar semisal Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) di Bandung, Stadion Wibawa Mukti di Kabupaten Bekasi, Stadion Pakansari di Kabupaten Bogor, dan Stadion Patriot di Kota Bekasi.
Jadi, boleh dibilang Jabar telah memiliki infrastruktur yang cukup lengkap.
Untuk melayani kesehatan warganya, Jabar juga memiliki banyak rumah sakit yang patut dibanggakan. Di Jabar terdapat banyak rumah sakit dengan berbagai kelas, baik milik pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Misalnya, Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) di Kota Bandung. Meskipun RSHS milik pemerintah pusat, tetapi yang menerima manfaatnya adalah masyarakat Jabar. Ada pula Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Al-Ihsan, dan sederet rumah sakit lain yang tersebar di 27 kabupaten/kota. Sekali lagi, semua itu diperuntukkan demi melayani kesehatan masyarakat Jabar.
Di bidang pendidikan, di Jabar terdapat beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) ternama di negeri ini. Ada Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Padjadjaran (Unpad), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Belum lagi, masih ada sederet perguruan tinggi swasta (PTS) terdapat di Jabar. Beberapa PTN sudah memiliki Program Studi di Luar Kampus Utama (PSDKU). Misalnya, Unpad memiliki PSDKU di Kabupaten Pangandaran. Selain itu, ada pula Istitut Pertanian Bogor yang membuka di Kabupaten Cirebon.
Dengan berbagai dinamika yang melingkupinya, Jabar telah membuktikan banyak hal. Jabar telah meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) ke-12 dari Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun 2023. Dengan berbagai hal yang masih harus dibenahi, setidaknya hal itu menunjukkan bukti bahwa ada kerja keras yang dilakukan. Belum lagi beragam penghargaan yang diberikan oleh berbagai pihak, baik internasional, nasional, maupun lembaga-lembaga swasta.
Terlepas dari berbagai keunggulan yang dimiliki, ternyata masih banyak tantangan Jabar ke depan. Bagaimanapun, Jabar harus menyiapkan generasi yang benar-benar siap bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Berbagai prestasi dan keunggulan yang dimiliki harus tetap dipertahankan. Berbagai kekurangan yang ada harus segera dibenahi. Selain itu, kebijakan yang diambil haruslah demi untuk memberikan kesejahteraan sebesar-besarnya kepada masyarakat sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945.
Jadi, mari kita siapkan Provinsi Jawa Barat menyongsong Tahun Emas Republik Indonesia 2045. Sekali lagi, keunggulan demografis (kuantitas) saja tidak akan menjadikan Jabar sebagai provinsi yang layak diperhitungkan provinsi lain. Dibutuhkan keunggulan kualitas yang dibuktikan dengan penguasaan iptek yang memadai dan diperkuat imtak yang kuat. Demi mewujudkannya, dibutuhkan arah dan kebijakan pembangunan Jabar yang lebih komprehensif. Dengan demikian, barulah Jabar akan menjadi provinsi juara. (*)