Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Kang Dedi Mulyadi: Memimpin dengan Hati”
ORANG tahunya saya menulis sangat cepat, serba sat set dan cepat terbit. Memang kelihatannya demikian. Padahal kenyataannya saya kerap lama dalam menulis. Jangan kan menulis buku, menulis satu artikel pun saya membutuhkan waktu yang agak lama. Tidak secepat yang dikira atau dibayangkan banyak orang di luar sana. Saya butuh proses panjang untuk menuntaskan tulisan, apalagi menulis naskah biografi tokoh tertentu, cukup lama.
Pada umumnya, kalau menulis sebuah tulisan, apalagi sebuah naskah buku, saya sudah menyicil tulisannya sejak lama. Sumbernya dari mana saja. Dari buku atau media yang saya baca, dari grup media sosial dan dari obrolan ringan saat bersua dengan siapapun. Ketika momentumnya tiba, saya langsung melakukan penyempurnaan, elaborasi dan editing ringan seperlunya. Setelah itu, saya biasanya minta bantuan beberapa teman sehingga mendapatkan masukan. Setelah itu, saya serahkan ke penerbit.
Bila hendak menulis tentang tokoh tertentu, biasanya saya sudah menyicil sejak beberapa waktu yang telah lewat. Saya melakukan wawancara dan mencatat hal-hal yang menurut saya layak dicatat. Saya mencicilnya sedikit demi sedikit. Saya termasuk yang mengurangi proses editing di awal menulis. Sebab itu bisa membuyarkan ide yang muncul. Mengedit tulisan saat awal hanya menghambat proses mengalirnya ide yang muncul. Saya hindari itu, sebab sangat mengganggu dan bikin motivasi hilang.
Saya terbiasa untuk menulis tentang apa saja. Sudut pandang dan latarnya diperluas. Dari tulisan bebas semacam itu nanti akan bermanfaat bila saya menulis sebuah naskah buku tertentu. Saya menyambungkan dengan tulisan yang sudah ada. Saya simpan di ulasan yang sesuai dengan kebutuhan saya. Bila menulis biografi, saya sesuaikan dengan hasil wawancara dan sumber lain yang sudah saya susun sebelumnya. Bila ada hal-hal yang kurang tepat, saya sisihkan ke file khusus. Sebab bisa jadi dibutuhkan untuk naskah baru nantinya.
Beberapa kesempatan saya diminta oleh penghubung untuk menulis biografi tokoh tertentu. Sebelum melakukan wawancara langsung dengan narasumber, saya berupaya untuk berkomunikasi dengan orang terdekat termasuk kalangan media yang dipercaya. Saya juga mengumpulkan data penunjang, sehingga saat melakukan wawancara saya lebih bebas dan narasumber pun bebas menyampaikan informasi dalam berbagai sisinya. Dengan begitu, penulisan naskah lebih mudah, cepat dan ujungnya layak terbit.
Ada sebagian orang yang memiliki keterampilan yang sudah pada level “wah” dalam menulis. Mereka tinggal dikasih tema tertentu, mereka langsung action dan menghasilkan tulisan yang bernas. Saya termasuk yang tidak secepat itu. Saya tipe orang yang suka menyicil tulisan. Bagi saya, dengan pola menyicil maka saya punya kesempatan yang cukup untuk berinteraksi dengan ide dan tulisan itu sendiri. Intinya, menulis itu perlu dicicil, karena menulis itu menyicil. (*)