Pertanyaan:
Saya IS, saya memiliki rumah atas peninggalan orang tua dan sudah sekian lama tidak ada status kepemilikan, keabsahan apa yang menjadi dasar kepemilikan atas rumah yang saya tinggali?
Jawaban:
Baik, terimakasih untuk saudara IS atas pertanyaannya. Bukti kepemilikan tanah harus tertuang dalam sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut sebagai Undang Undang Pokok Agraria (UUPA), pun membedakan antara hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak sewa untuk bangunan sebagai berikut:
Hak Milik
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1), bahwa yang dimaksud dengan “Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.” Kata “turun-temurun” dapat diartikan sebagai hak yang bisa diturunkan kepada ahli waris, terkuat dalam hubungannya dengan hak atas tanah yang lain, dan terpenuh dalam hal kewenangan yang dimiliki pemegang haknya. Menurut Pasal 16 ayat (1) huruf a UUPA salah satu hak atas tanah yang diakui adalah hak milik.
Hak guna-usaha
Berdasarkan Pasal 28 ayat (1), “Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan”
Hak guna-bangunan
Sesuai Pasal 35 ayat (1), “Hak guna-bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun”.
Hak pakai
Menurut Pasal 41 ayat (1), “Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini”.
Hak sewa untuk bangunan
Sebagaimana Pasal 44 ayat (1), “Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa”. Selanjutnya, Pasal (2), menjelaskan bahwa “Pembayaran uang sewa dapat dilakukan: a) satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu; dan b) sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan.
Lalu, bagaimana jika terjadi dilema antara kepemilikan tanah dan kepemilikan bangunan?
Manusia dan tanah tentunya mempunyai hubungan yang erat. Selain untuk kepentingan sendiri, tanah juga dibutuhkan untuk kepentingan yang lebih luas. Tak hanya itu, asas pemisahan horizontal yang masih digunakan, kerapkali menjadi salah satu kelemahan sistem hukum pertanahan nasional di Indonesia. Tak jarang hal ini memicu sengketa pada akhirnya. Asas horizontal ini memiliki arti bahwa antara pemilik tanah dengan pemilik bangunan terletak pada dua pihak yang berbeda. Hal ini juga sebagaimana yang tertera dalam Pasal 44 ayat (1) UUPA, yang berbunyi:
“Seorang atau badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya, sejumlah uang sewa”
Untuk hak sewa bangunan, terdapat pemisahan secara horizontal antara kepemilikan tanah dengan kepemilikan bangunan yang ada diatasnya, ini berarti bahwa tanah tersebut adalah milik pemilik tanah, sedangkan bangunannya adalah milik dari penyewa tanah.
Jika kita melihat sejarah, pada saat masyarakat adat mendirikan suatu rumah, teknik pembangunan yang digunakan seringkali bersifat bongkar pasang atau dikenal juga dengan istilah “know down”. Hal ini dilakukan guna menyesuaikan kebutuhan masyarakat pada saat itu. Tentunya, pembangunan ini masih sangat sederhana dan dapat dibongkar sewaktu-waktu untuk kemudian dipindahkan dan dirakit ulang ke tempat yang baru secara nomaden. Lalu, bagaimana jika diakaitkan dengan kondisi pada saat ini yang menggunakan teknik bangunan secara permanen (terbuat dari beton, tulang besi, dan bata)? Berdasarkan asas pemisahan horizontal ini, ada kemungkinan dalam satu bidang tanah yang sama memiliki beberapa hak kepemilikan atas tanah secara bersamaan.
Intisari Jawaban:
Secara legal, yang menjadi dasar keabsahan legalitas kepemilikan suatu objek tanah atau bangunan adalah Sertifikat Hak Milik (SHM) yang merupakan bukti terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20 Ayat (1) UUPA. Hal ini juga dikuatkan oleh Pasal 32 Ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 yang menjelaskan:
“Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”. (*)