Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Pemuda Negarawan”
“Untuk menjaga dan merawat tradisi kenegaraan tersebut, BPIP telah menerbitkan Peraturan BPIP Nomor 3 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2022 tentang program Paskibraka yang mengatur mengenai tata cara pakaian dan sikap tampang Paskibraka,” ujar Kepala BPIP berapa waktu lalu sebagai penegas keharusan bagi petugas Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka) putri agar tidak mengenakan jilbab saat bertugas.
Pernyataan itu benar-benar menyedihkan dan membuat kita miris juga marah. Bagaimana tidak, sebuah lembaga yang seharusnya menjaga nilai-nilai Pancasila justru merintangi nilai-nilai Pancasila. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang diberi otoritas penting untuk memastikan nilai-nilai Pancasila tersebar ke berbagai elemen bangsa justru bertindak gegabah dan menimbulkan gaduh. BPIP mengeluarkan peraturan yang melarang penggunaan jilbab bagi Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka) putri, pada dua peristiwa yaitu pengukuhan dan pengibaran bendera.
Sebagaimana yang diberitakan oleh berbagai media massa, Kepala BPIP menyatakan, bahwa pakaian, atribut, dan sikap, tampang Paskibraka sebagaimana terlihat pada saat pelaksanaan tugas kenegaraan, yaitu pengukuhan Paskibraka, adalah kesukarelaan para Paskibraka dalam rangka mematuhi peraturan yang ada, dan hanya dilakukan pada saat pengukuhan Paskibraka dan pengibaran Sang Merah Putih pada upacara kenegaraan saja.
Seperti sengaja mengundang reaksi sekaligus kemarahan umat Islam, Yudian Wahyudi, selaku Kepala BPIP menegaskan bahwa, saat proklamasi, Indonesia terdiri atas kebinekaan. Dalam rangka menjaga kembali persatuan, maka dibuatlah Paskibraka dalam bentuk seragam, untuk menjaga kebhinekaan itu dalam rangka kesatuan. Pernyataan tersebut mencerminkan pemahaman yang dangkal dan picik terhadap Pancasila. Bayangkan, lembaga yang dibiayai oleh anggaran yang begitu besar dari pajak rakyat justru tidak paham Pancasila dan justru merongrong nilai-nilai Pancasila.
Bila kita telisik, pernyataan tersebut sangat jelas melukai hati umat Islam dan bertentangan dengan konstitusi negara perihal hak azasi warga negara dalam memeluk sekaligus menjalankan ajaran agamanya. Dalam Islam, menutup aurat (termasuk mengenakan jilbab) adalah kewajiban syariat. Ia merupakan ibadah yang diperintahkan oleh Tuhan (Allah) kepada umat-Nya. Bila menelisik UUD 1945, kita mendapatkan penegasan yang sangat jelas bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap warga negara dalam memeluk dan menjalankan ajaran agamanya. UUD 1945 pasal 29 ayat (2) sangat jelas disebutkan bahwa, negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.
Kita sudah maklum bahwa kebhinekaan adalah intisari bangsa dan negara kita. Berbeda-beda suku, ras dan latar sosial lainnya tak merintangi kita sebagai sebuah bangsa untuk bersatu padu dalam satu rumah besar: Indonesia. Merayakan HUT kemerdekaan termasuk HUT RI ke-79 tidak mesti dirayakan dengan menyeragamkan tampilan mereka yang bertugas. Toh dari dulu Paskibraka putri sudah terbiasa mengenakan jilbab saat bertugas dan sama sekali tidak merusak persatuan. Hubungan baik dan saling menghormati dengan dan antar mereka yang berbeda berlangsung natural dan tidak ada masalah apapun. Bila petugas Paskibraka putri dari dulu hingga kini tak ada soal perihal jilbab, mengapa BPIP kebakaran bulu ketek?
Kita tau bahwa selama puluhan tahun sejak kemerdekaan, kita sudah biasa menjalankan ajaran agama dengan baik. Tentara wanita, polisi wanita, ASN wanita dan pejabat wanita sudah banyak, semuanya berjilbab. Berjilbab tidak merintangi mereka dalam menjalankan tugas sebagai abdi negara. Justru dengan mengenakan jilbab wanita (muslimah) Indonesia lebih terjaga dari berbagai gangguan dan upaya kriminalitas. Mereka tentu saja merasa nyaman karena telah atau sedang menjalankan ajaran agama Islam yang mendapatkan afirmasi Pancasila, konstitusi negara dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.
Namun apa daya, suara umat Islam seperti dianggap angin lalu. BPIP yang seharusnya mencabut aturan tersebut hanya meminta maaf atas aturan dan pernyataan sebelumnya. Padahal, ini masalah penting dan karena itu minta maaf saja tidak cukup. Sebab bila tidak disertai tindakan ril, maka minta maaf hanyalah ucapan basa-basi.
Atas dasar itu, mempertimbangkan berbagai dampak buruk yang ditimbulkan oleh BPIP dan aturan amoral yang dibuatnya, serta untuk menghemat anggaran negara dari lembaga yang sangat mubazir atau sia-sia, kita mendesak agar pemerintah dan DPR atau institusi terkait segera membubarkan BPIP. Tanpa BPIP pun kita paham dan tetap berpedoman pada Pancasila dengan baik dan benar. Membubarkan BPIP artinya kita mencintai NKRI dan menjalankan Pancasila dengan baik dan benar. (*)