Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Belasan Buku Biografi Tokoh
S0SIAPA yang tak mengenal Helmi Yahya? Bang Helmi, demikian ia akrab disapa, merupakan adik kandung Bang Tantowi Yahya. Bila sang kakak pernah menjadi anggota DPR dan duta besar, sang adik pernah menggawangi TVRI dan berbagai acara spektakuler di TV Swasta seperti Kuis Siapa Berani, dan masih banyak lagi. Belakangan Bang Helmy aktif sebagai pembisnis, coach untuk berbagai forum dan menulis buku-buku marketing, motivasi dan serupanya. Juga traveler ulet ke berbagai negara di dunia.
Bang Helmi dulunya adalah orang miskin bahkan miskin yang cukup ekstrem. Orangtuanya berlatar ekonomi yang kurang beruntung, sehingga kebutuhan sehari-hari pun sering tak terpenuhi. Tapi itu dulu, Bang Helmi sekarang sudah berbeda. Ia sudah menjadi sosok yang mencapai puncak kekayaan yang membuatnya bisa berkunjung ke berbagai negara, bahkan sudah 60-an negara. Beberapa bisnis ia gawangi, menghadiri berbagai forum pelatihan dan seminar internasional dan aktif di Podcast yang ia miliki.
Beberapa waktu lalu, saya mendengar beberapa rekaman video motivasi Bang Helmy Yahya di Podcast-nya. Saya mencatat beberapa nasehat atau motivasi Bang Helmi yang menurut saya benar-benar “wow” dan layak dijadikan pijakan dalam menjalani kehidupan dan karier kini juga ke depan. Walau yang disampaikan oleh sosok inspirator kenamaan asal Palembang, Sumatra Selatan ini terhitung cukup kejam, namun bila tak berpijak pada apa ia sampaikan justru kehidupan nyata jauh lebih kejam, bahkan bakal lebih kejam lagi.
Pertama, jangan miskin, karena tidak ada yang akan memberimu uang! Bang Helmi mengingatkan bahwa pengalaman menjadi orang miskin adalah pijakan sekaligus motivasi bagi dirinya untuk tidak miskin lagi. Menurut dia, kemiskinan adalah sebuah kondisi yang bisa diubah. Kuncinya adalah kerja keras, berani berubah dan langsung bertindak alias action. Kata dia, kalau seorang kakek hidup miskin, jangan orang lain di luar sana, bahkan anak cucu nya pun enggan bertemu dengannya. Maka kita harus jadi orang kaya, jangan jadi orang miskin!
Kedua, jangan mengeluh, tidak akan ada yang menolongmu! Menurut Bang Helmi, betapa banyak orang yang hidupnya selalu dilingkupi keluhan. Akun media sosialnya selalu memperlihatkan bahwa dirinya memang raja “ngeluh”. Apapun yang ia hadapi selalu dianggap tidak baik, kurang bagus dan belum sempurna. Kehidupan yang ia jalani dipenuhi oleh keluhan dan keluhan. Dia paling senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang. Padahal dengan begitu tak satu pun orang yang menolongnya, karena mereka tak nyaman padanya.
Ketiga, jangan menangis di setiap kesempatan, tidak ada yang memilihmu! Orang yang kerap menangisi setiap kejadian dan keadaan adalah orang yang tidak memiliki masa depan. Jangan kan masa depan yang cerah, masa sekarang pun sudah terlihat suram. Hal itu disebabkan oleh pikiran, sikap dan tingkahnya sendiri. Dalam banyak kesempatan ia banyak menangisi nasibnya, tapi tak berupaya untuk mengubah nasib. Ia menunggu dan menunggu. Padahal tak satu pun yang mau memilih dan menemaninya. Orang selalu menghindar dan enggan padanya. Jadi, jangan malas, sebab orang di luar sana tak suka pada pemalas!
Keempat, jangan mengaku kalah, tidak ada yang ingin kamu menang! Bagi Bang Helmi, bila kita berhadapan dengan tantangan dan hambatan, maka tak perlu menghindar bahkan mengalah. Hadapi semuanya dengan hati yang lapang, pikiran jernih dan sikap yang penuh perhitungan. Sebab bila kita mengalah maka sesungguhnya tak satu pun orang di luar sana yang ingin kita benar-benar menang. Apalagi berhadapan dengan manusia toxit (racun), kita tak boleh lugu dan terlihat mengalah. Kita mesti optimis dan percaya diri. Dan, kita harus menang dan menangkan!
Kelima, jangan mengandalkan orang lain, hanya dirimu sendiri yang paling bisa diandalkan dalam hidupmu! Orang yang selalu mengandalkan orang lain biasanya selalu bergantung pada orang lain. Dia terlihat merdeka tapi sejatinya dia dijajah oleh orang lain di luar dirinya. Dalam banyak hal, ia selalu mengandalkan atasan, bos dan nama serupa lainnya. Bahkan organisasi, lembaga dan perusahaan jadi tameng. Sehingga potensinya terkungkung dan tak tumbuh sebagaimana mestinya. Padahal, satu-satunya yang ia layak andalkan adalah dirinya sendiri, bukan orang lain, organisasi, lembaga dan serupanya. (*)