Pertanyaan:
Perkenalkan, nama saya ZF, kurang lebih sudah sekitar 5 tahun saya membangun bahtera rumah tangga dengan suami saya, akan tetapi ia kurang begitu cukup dalam meng-cover kebutuhan rumah tangga. Alhasil, saya juga membantunya dalam urusan finansial.
Akan tetapi, orang tua saya selalu menyarankan untuk bercerai karena suami saya penghasilannya tidak begitu memadai. Pertanyaan saya, bagaimana konsep nafkah yang sebaiknya dijalankan dalam rumah tangga saya? Apa hanya karena suami saya tidak bisa menafkahi, lantas saya harus menggugatnya cerai?
Jawaban
Baik, terimakasih banyak untuk saudara ZF atas pertanyaannya. Izinkan kami untuk menjawab. Sebelumnya, kami akan memaparkan terlebih dahulu bagaimana alasan-alasan perceraian yang diperbolehkan dalam hukum yang berlaku di Indonesia untuk kemudian mengetahui apakah masalah nafkah dapat menjadi salah satu alasan dalam perceraian. Berikut adalah alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah sebagaimana yang tertera pada Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974:
- Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
- Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
- Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga;
Adapun khusus yang beragama Islam, ada tambahan dua alasan perceraian selain alasan-alasan di atas, sebagaimana diatur dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam yaitu:
- Suami melanggar taklik-talak;
- Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Isi dari shigat taklik:
Apabila saya:
- Meninggalkan isteri saya 2 (dua) tahun berturut-turut;
- Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya;
- Menyakiti badan/jasmani isteri saya, atau
- Membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya 6 (enam) bulan atau lebih;
dan karena perbuatan saya tersebut isteri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut, kemudian isteri saya membayar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada Pengadilan tersebut saya memberi kuasa untuk menerima uang iwadh tersebut dan menyerahkannya kepada Badan Amil Zakat Nasional setempat untuk keperluan ibadah sosial”
Kehidupan berumah tangga merupakan keterpaduan hubungan antara suami dan istri, karena setiap keluarga selalu menginginkan ketentraman hingga akhir hayat mereka. Adapun keutuhan suatu rumah tangga dapat dicapai salah satunya apabila suami dan istri mengetahui, memahami, dan melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing, sehingga hukum Islam mengatur hak dan kewajiban suami istri dalam menjalankan kehidupan berumah tangga. Oleh karena itu, antara hak dan kewajiban merupakan hubungan timbal balik antara suami dengan istrinya.
Begitupun perihal nafkah, meski secara normatif nafkah dibebankan kepada suami, tapi itu bukan satu-satunya kewajiban. Nafkah adalah sesuatu hal yang pada hakikatnya bisa dimusyawarahkan satu sama lain. Manakala suami tidak dapat mencukupinya, atau manakala pendapatan suami lebih kecil dari pendapatan istri, maka itu bukanlah sesuatu hal yang salah. Hal ini sebagaimana yang juga tertera pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 103 menjelaskan: Suami dan istri, mereka harus setia-mensetiai, tolong-menolong, dan bantu-membantu.
Berikut ini penjelasan lengkap terkait nafkah secara normatif:
Apa yang Dimaksud dengan Nafkah?
Menurut bahasa nafkah berasal dari kata Arab ”infaq” artinya membelanjakan. Sementara nafkah berasal dari kata nafakah, yang berarti nafkah barang yang dibelanjakan.
Menurut Sayyid Sabiq, nafkah itu seperti memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, dan juga pengobatan istri jika ia seorang yang kaya. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, yang dimaksud dengan nafkah adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.
Intisari Jawaban
Setiap rumah tangga pastinya memiliki jalan kerikilnya masing-masing. Dari berbagai pemaparan di atas, jelas bahwa dalam kehidupan rumah tangga, baiknya bukan hanya soal menuntut hak tapi juga soal saling memberikan yang terbaik dalam memenuhi kewajiban. Jika ada sesuatu hal menjadi masalah, bisa diselesaikan dengan musyawarah.
Tak selamanya cerai pun menjadi solusi. Karena rumah tagga merupakan perjanjian yang kokoh, maka saling menerima dan saling membantu sebagaimana yang juga tertera pada Pasal 103 KUHPer adalah sebuah kehasrusan. Kitab ini juga menerangkan bahwa apapun agamanya, dalam kehidupan berumahtangga harus untuk saling menolong satu sama lain. Ini bukan siapa yang paling, ini soal saling. Harta bisa dicari, tapi kasih sayang tidaklah dapat dibeli.
Tak hanya itu, terkait ukuran nafkah, Imam Malik dan Abu Hanifah pun berpendapat tidak ada ukuran pasti, hal tersebut dikembalikan pada keadaan pasangan suami istri, dan tentu saja menyesuaikan tempat, waktu dan keadaan.
Ada baiknya jika berkenan pun saudara memberi penjelasan kepada orang tua Saudara bahwa tidak apa-apa manakala suami saudara belum bisa memberikan uang, karena selama ini ia pun sudah berusaha untuk menafkahi meski belum bisa bgitu mencukupi. Kokoh atau tidaknya rumah tangga ditentukan juga pada kepercayaan dan upaya untuk saling membahagiakan.
Sekalipun istri boleh menggugat cerai dengan alasan tidak dinafkahi, akan tetapi dalam kasus ini suami saudara bukan tidak menafkahi, melainkan kurang mencukupi, ada baiknya bila saudara juga ikut membantu karena itu bisa menjadi salah satu penunjang tercapainya pernikahan yang sakinah, mawadah, dan warohmah. Wallahu’alam. (*)