Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis buku “Kalo Cinta, Nikah Aja”)
SUDAH setahun lebih, sejak awal tahun 2020 hingga kini Juli 2021 seluruh negara di dunia termasuk Indonesia terkena bencana non alam: Coronavirus Disease 2019 yang akrab kita sebuat dengan Covid-19. Ia adalah penyakit yang disebabkan oleh virus severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2).
Ya, dari perspektif kesehatan, virus ini dapat menyebabkan gangguan sistem pernapasan, mulai dari gejala yang ringan seperti flu, hingga infeksi paru-paru, seperti pneumonia. Penyakit ini sendiri adalah jenis penyakit baru yang disebabkan oleh virus dari golongan coronavirus, yaitu SARS-CoV-2 yang juga sering disebut virus Corona.
Masing-masing orang memiliki respons yang berbeda terhadap Covid-19. Sebagian besar orang yang terpapar virus ini akan mengalami gejala ringan hingga sedang, dan akan pulih tanpa perlu dirawat di rumah sakit.
Gejala yang paling umum diantaranya demam, batuk kering, dan kelelahan. Gejala yang sedikit tidak umum seperti rasa tidak nyaman dan nyeri, nyeri tenggorokan, diare, konjungtivitis (mata merah), sakit kepala, hilangnya indera perasa atau penciuman, ruam pada kulit, dan perubahan warna pada jari tangan atau jari kaki
Untuk gejala serius biasanya mereka yang terpapar kesulitan bernapas atau sesak napas. Selain itu, mereka juga mengalami rasa nyeri dada atau rasa tertekan pada dada. Di samping itu, mereka juga mengalami hilangnya kemampuan berbicara atau bergerak secara normal. Bahkan belakangan terdapat beberapa gejala baru yang tentu saja mestinya membuat kita semakin disiplin dalam menjaga protokol kesehatan.
Rata-rata gejala akan muncul 5–6 hari setelah seseorang pertama kali terinfeksi virus ini, tetapi bisa juga 14 hari setelah terinfeksi. Kondisi ini sangat ditentukan oleh kualitas diri atau imunitas masing-masing orang yang terpapar.
Bila imunitasnya kuat maka mereka hanya mengalami situasi ringan, namun tetap menjaga imunitas tubuh. Sehingga dengan ikhtiar yang maksimal mereka pun kembali sembuh atau sehat. Tak sedikit juga yang bila terpapar namun kondisi imunitas tidak kuat atau mengalami penyakit lain maka mereka pun turut menjadi korban yang meninggal dunia.
Sejak awal tersebar hingga kini sudah jutaan orang yang terpapar. Ada yang sembuh dan ada yang tidak sembuh bahkan meninggal dunia. Di negara kita Indonesia juga demikian. Sudah jutaan orang yang terpapar. Diantaranya ada yang meninggal dunia, namun sebagian besar orang sembuh, bahkan kini sudah sehat dan beraktivitas normal seperti sedia kala. Apapun itu, kondisi ini mesti dihadapi dengan tenang, soliditas dan kolaborasi bagi seluruh negara dan warga negara.
Selain dampak kesehatan, bencana ini juga berdampak pada aspek ekonomi, sosial dan sebagiannya. Bahkan berdampak pula pada aspek keagamaan warga negara. Sekadar contoh, dari aspek ekonomi, tak sedikit yang diberhentikan dari tempat kerja. Sehingga mereka tetiba menjadi pengangguran yang masih produktif. Pada aspek lain juga begitu. Variasi dan bentuknya banyak. Sederhananya, bencana ini benar-benar telah mengguncang seluruh sektor kehidupan umat manusia abad ini.
Sebagai seorang muslim kita memiliki cara dan sudut pandang tertentu dalam menghadapi bencana. Dalam al-Quran Allah berfirman, “Dan Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali untuk dihisab)”. (QS. al-Baqarah: 155-156).
Imam As-Syaukahi di dalam tafsir Fath Al-Qadir menyebut bahwa cobaan dari Allah adalah suatu keniscayaan. Cobaan yang dimaksudkan bisa berupa cobaan yang menantang fisik, psikis, dan mental seseorang. Namun demikian, orang-orang yang beriman akan menjadikan semua itu sebagai pijakan untuk hidup lebih baik lagi ke depannya.
Sementara itu Wahbah Al-Zuhaili dalam Al-Wajiz menyebut, cobaan yang beragam itu dimaksudkan agar manusia bisa dibedakan mana di antara mereka yang imannya kuat dan mana yang imannya kurang. Mereka yang imannya kuat akan survive dengan cobaan Allah, sementara yang lemah akan tergilas dengan musibah itu.
Sementara itu di dalam Tafsir Kementerian Agama RI, disebutkan orang-orang yang beriman akan berkata, musibah-musibah itu untuk menunjukkan kepasrahan total kepada Allah, bahwa apa saja yang ada di dunia ini adalah milik Allah; pun menunjukkan keimanan akan adanya hari akhir. Pesan dari semua itu sangat jelas dan tegas bahwa orang-orang yang imannya tebal itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk sehingga mengetahui kebenaran.
Sebagai manusia beriman, pada kondisi semacam ini kita dituntut untuk memiliki dua modal penting yaitu bersyukur dan bersabar. Bahkan kualitasnya mesti ditingkatkan, sehingga bencana ini tidak menimbulkan bencana yang lebih besar berupa kerapuhan iman dan jiwa. Dengan bersyukur maka Allah bakal memberi kita nikmat bahkan menambahkannya. Dengan bersabar maka kita menjadi hamba Allah yang kuat dan mendapat nikmat keteguhan dari Allah.
Allah berfirman, “Dan ketika Tuhanmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.”” (QS. Ibrahim: 7). Kemudian, dari Shuhaib bin Sinan dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim).
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang sungguh-sungguh berusaha untuk bersabar maka Allah akan memudahkan kesabaran baginya. Dan tidaklah seseorang dianugerahkan (oleh Allah Subhanahu wa ta’ala) pemberian yang lebih baik dan lebih luas (keutamaannya) daripada (sifat) sabar.” (HR. Bukhari). Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Abu Ya’la dari sahabat Abu Hurairah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sabar itu ketika pertama kali mendapatkan musibah.”
Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari sayyidah ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kesabaran itu adalah seorang laki-laki, maka sungguh ia adalah laki-laki yang mulia.” Kemudian diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Thabarani dari sahabat Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada seorang hamba yang meneguk satu tegukan (menerima musibah) yang lebih utama di sisi Allah dari pada satu tegukan yang berat yang ditahan untuk mencari ridha Allah”.
Intinya, pada masa pandemi ini, kita perlu meningkatkan saldo dan kualitas syukur sekaligus sabar. Apa yang terjadi adalah ada dalam kuasa dan pengetahuan Allah. Ikhtiar manusiawi seperti menjaga protokol kesehatan itu wajar dan perlu. Seperti memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan dan masih banyak lagi, itu sudah ketentuan. Namun menjaga rasa syukur dan sabar adalah sikap sekaligus karakter yang mesti jaga.
Sebagai warga biasa, saya sangat percaya sekaligus yakin bahwa bila kita terus berikhtiar, bersyukur dan bersabar maka Allah pasti memberi kita imunitas yang kuat, nikmat sehat, disembuhkan bila terpapar, dan semakin yakin bahwa tak ada musibah yang kosong dari kuasa Allah. Maka selain menjaga protokol kesehatan secara ketat dan disiplin, kita juga perlu tingkatkan semangat berdoa kepada Allah. Mintalah kepada-Nya agar bencana ini berakhir. Mohon juga kepada-Nya agar dosa-dosa kita diampuni-Nya. Sebab Dia Maha Pengampun dan Maha Mendengar doa kita hamba-Nya. (*)