Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku Moderasi dan Toleransi Beragama)
ALHAMDULILLAH pada hari Senin, 18 April 2022 pukul 16.00 WIB hingga selesai saya kembali menghadiri undangan acara Webinar Nasional yang diselenggarakan oleh Center For Information and Development Studies Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (CIDES ICMI) dengan fokus tema “Komunisme dan Radikalisme Dalam Pandangan Islam”.
Pada acara yang diadakan melalui zoom meeting ini menghadirkan Prof. Dr. M. Mahfud MD, SH, SU, M.P (Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia/Wakil Ketua Dewan Penasihat ICMI) sebagai Keynote Speaker.
Adapun yang menjadi narasumber pada acara yang dihadiri sekitar 120-an peserta dari berbagai kota di seluruh Indonesia ini yaitu Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir (Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat) dan Drs. KH. Abdul Hamid (Dewan Pakar ICMI Pusat). Acara yang dimoderatori oleh MHR Shikka Songge (CIDES ICMI) ini juga dihadiri oleh Prof. Dr. Andi Faisal Bakti (Direktur CIDES ICMI) dan Dr. Hery Margono (Sekretaris CIDES ICMI), serta pengurus ICMI pusat, wilayah, daerah dan umum.
Secara sederhana saya mengulas lebih elaboratif poin-poin yang disampaikan Prof. Nanat, Mantan Presidium KAHMI yang juga mantan Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung dua periode ini, apa yang beliau sebut sebagai “Enam Rekomendasi”, diantaranya adalah sebagai berikut: Pertama, Merevisi dan menyempurnakan indikator radikalisme versi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama ormas-ormas Islam dan perguruan tinggi.
Sehingga muncul persamaan persepsi dan tidak muncul saling curiga yang melampaui batas. Selama ini antar elemen terkesan kerja sendiri-sendiri sesuai dengan profesi dan karirnya. Sehingga rumusan tertentu yang berkaitan dengan urusan publik malah ditepikan begitu saja. Padahal inilah saat yang baik dan perlu untuk memperkuat persatuan dan menyamakan persepsi tentang hal-hal penting.
Kedua, Penyempurnaan metode pendidikan agama agar mengarah ke prinsip ajaran Islam rahmatan lil’aalamin. Selama ini sebetulnya sudah berjalan dengan baik, hanya saja perlu penguatan dan penyadaran masyarakat sehingga tak terjebak pada upaya destruktif yang membahayakan agama dan negara. Sehingga isme-isme yang dianggap menyimpang dan bertentangan dengan agama juga dasar dan konstitusi negara bisa dihindarkan sejak dini, bukan malah membiarkan begitu saja, sehingga berakibat fatal pada keutuhan bangsa dan negara.
Ketiga, Sosialisasi optimal di kalangan masyarakat penyamaan persepsi hubungan Islam dan negara. Dialektika sekaligus dinamika tentang hubungan antar Islam dan negara perlu diperkuat dalam bentuk penjelasan yang mudah dipahami dan mengurangi tensi konflik yang tak produktif. Diskusi tentang Islam dan Negara perlu dibuka lebar, sehingga masyarakat tidak terjebak pada stigmatisasi yang malah menimbulkan dampak negatif yang berkepanjangan. Mereka yang berpengetahuan perlu menjadi narator yang baik untuk agama, bukan sebaliknya menjadi penebar hoax dan provokasi yang menimbulkan konflik.
Keempat, Keteladanan dari tokoh politik, pemerintah dan ulama, antara ucapan dan kenyataan dalam mewujudkan Pancasila. Ya, kunci penting yang tak kalah pentingnya keteladanan. Pancasila tak cukup dipidatokan, karena ia mesti mewujud dalam kebijakan sekaligus tingkah laku pejabat. Jangan ada lagi yang pandai berpidato “Kami Pancasila” tapi terjerat korupsi atau menjadi maling anggaran negara.
Tak boleh ada lagi yang merasa paling “Pancasila” padahal perilakunya bejat dan tak mencerminkan seorang Pancasilais sejati. Agamawan perlu memahami Pancasila agar tidak salah paham pada substansinya hanya karena tingkat pejabat negara yang masih jauh dari nilai-nilai Pancasila.
Kelima, Pemerintah RI menindaklanjuti keputusan pemerintah Amerika Serikat dan PBB tentang UU Anti Islamophobia tahun 2022. Sebagai negara muslim terbesar di dunia Indonesia perlu menginisiasi aturan atau bisa juga dalam bentuk UU yang serupa dengan memperhatikan budaya dan nilai luhur bangsa atau negara kita.
Hal ini dilakukan agar siapapun tidak mudah melakukan pelecehan dan penghinaan terhadap Islam dan umatnya, lalu dibiarkan hanya karena atas nama kebebasan berpendapat. Bahkan terkesan adanya pembiaran hanya karena “kelompok” semacam itu menjadi bazzer atau penyokong kekuasaan di berbagai media massa dan akun media sosial.
Keenam, Pemerintah dan masyarakat mewaspadai munculnya bahaya laten komunis seperti diperintahkan dalam TAP MPRS No. 25 Tahun 1966. Hal ini penting sebab pada beberapa waktu lalu ada gerakan atau upaya sebagian kalangan untuk “menggugat” aturan tersebut. Bila tak hati-hati maka bisa menjadi pintu masuk bagi kekuatan tertentu untuk mengeksiskan kembali komunisme di Indonesia.
Memang ini terlihat bombastis, namun perlu diwaspadai terus menerus sebab kita berpengalaman dipecundangi oleh PKI. PKI dengan segala tipu muslihatnya bisa saja berubah wajah namun isme yang dikembangkan sama saja dengan isme yang dikembangkan oleh para pengacau negara itu pada tahun 1948 dan 1965.
Forum ini membuka peluang bagi siapapun untuk menyampaikan saran, kritik dan masukan. Untuk itulah pada forum ini saya menyampaikan beberapa hal penting yaitu, pertama, perlunya keteladanan di berbagai level terutama di level pejabat negara dan kepemimpinan sosial seperti tokoh agama, dan sebagainya.
Mereka mesti jadi model paling autentik yang mendekati nilai luhur agama dan Pancasila. Jangan sampai elite hanya pandai berpidato “Kami Pancasila”, misalnya, padahal pemahaman dan perilakunya jauh dari nilai Pancasila. Agamawan juga mesti menjadi teladan dalam beragama yaitu menjadi contoh praktis agama yang rahmat: kasih sayang dan damai.
Kedua, perlunya penguatan wacana yang lebih edukatif. Selama ini paham atau isme yang mengarah pada kriminalitas selalu dihadapi secara membabi buta bahkan dengan senjata. Sehingga terkesan tak ada edukasi yang masif, yang semestinya menjadi gerakan kolektif. Edukasi juga bermakna penguatan literasi publik. Perlu sosialisasi ide dan publikasi buku, misalnya, sehingga menjadi sumber bacaan bagi masyarakat luas terutama bagi generasi muda. Kalangan cendekiawan atau intelektual perlu banyak menulis mengenai tema-tema yang dibutuhkan, sehingga masyarakat mendapat pencerahan.
Ketiga, perlunya penguatan konsolidasi dan komunikasi antar elemen atau lembaga, baik di level pemerintah maupun non pemerintah seperti ormas Islam dan sebagainya. Hal yang tak kalah pentingnya, BNPT dan Densus 88 perlu diajak bicara perihal komunisme dan terorisme, sehingga adanya kesamaan persepsi, termasuk bagaimana upaya menghindarkan dan menanggulanginya secara produktif, efektif dan efesien. Selama ini terkesan adanya pemahaman yang berbeda, sehingga berdampak buruk pada upaya mencegah isme-isme yang dinilai destruktif bagi kedaulatan negara.
Saya berpendapat bahwa acara ini termasuk perlu ditindaklanjuti agar memberi dampak yang lebih konkret dan luas bagi masyarakat. Saya mengusulkan agar para tokoh ICMI aktif menulis artikel di media massa dan media online, bahkan bila perlu menulis buku putih yang berisi tentang konsep dan praktik paling relevan dalam membentuk pemahaman masyarakat agar terhindar dari komunisme dan aksi teror dalam beragam wajah.
Isme yang bertentangan dengan agama dan Pancasila perlu dilawan, namun perlawanannya lebih edukatif dan berbasis pada literasi serta kearifan sosial; bukan selalu dengan senjata atau peluru tajam, bahkan bukan pula dengan sikap antipati yang tak menyentuh atau menyelesaikan permasalahan. (*)