Beberapa waktu terakhir jagat maya dihebohkan oleh kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi atau Kang Dedi Mulyadi (KDM) yang memutuskan untuk melakukan pembinaan siswa-siswi (pelajar) yang dianggap “nakal” ke barak TNI. Cap nakal sebetulnya untuk menyingkat permasalahan anak yang jenisnya beragam. Misalnya, malas masuk sekolah, suka nongkrong di tempat umum dengan tetap mengenakan seragam sekolah, terlibat aksi kekerasan, terjebak narkoba, mabuk-mabukan dan masih banyak lagi.
Per 13 Mei 2025, terhitung hingga saat ini sudah ada sekitar 270-an pelajar yang sudah diikutkan ke berbagai barak TNI di berbagai kota dan kabupaten di Jawa Barat. Data lengkapnya bisa diperoleh di media massa dan media online. Kita bisa mengaksesnya secara gratis dan dari hari ke hari angkanya bisa berubah seiring bertambahnya pelajar yang dibina di barak. Sontak apa yang diinisiasi oleh KDM (bekerjasama dengan TNI) itu mendapat tanggapan beragam. Pro dan kontra muncul di mana-mana. Bahkan warga non Jawa Barat pun ikut berkomentar.
Berkaitan dengan hal ini, saya mencoba untuk melihat dari sisi yang lain. Saya berpengalaman sekolah di lembaga pendidikan Katolik selama 6 tahun, pondok pesantren selama 6 tahun dan kuliah kampus keagamaan (negeri dan swasta) selama 12 tahun. Pengalaman di lembaga pendidikan yang beragam semacam itu menjadi modal berharga bagi saya untuk mengajar. Saya berpengalaman mengajar di SMP dan pesantren (SMPIT, MTs dan MA) selama belasan tahun dan berhenti pada tahun 2021 lalu.
Pada lembaga pendidikan tempat saya mengajar (dan bisa jadi di luar itu juga sama), umumnya karakter, minat, bakat, selera, dan latar belakang anak-anak beragam. Pola belajar dan lingkungan sehari-hari dimana mereka hidup juga tak selalu sama. Tapi saat di kelas mereka menjadi komunitas yang sama, minimal sama-sama di kelas atau asrama yang sama. Mereka juga kerap bertingkah unik dan kreatif. Tapi ada juga yang bertingkah justru membuat para guru atau ustadz jadi kesal. Bahkan sudah sampai pada level “angkat tangan”. Lalu, bagaimana bila orangtuanya ikut “angkat tangan”?
Masalahnya memang kompleks. Ada sebagian anak yang saat di kelas sangat nyaman dan belajar seperti seharusnya. Tapi saat di luar kelas, mereka seperti kambing keluar dari kandang. Suka ribut, suka ramai dan sangat usil. Ada juga yang di rumahnya pendiam, alim dan baik, tapi di sekolah ributnya minta ampun, suka jahil dan jadi biang masalah. Ada juga yang di rumah dan sekolah menjadi sosok yang asyik, tapi saat di luar sana terlibat aksi kekerasan. Bahkan ada yang ikut menjadi gerombolan yang aktif melakukan tindakan kekerasan di jalanan.
Berdasarkan pengalaman saat masih mengajar di lembaga pendidikan, bila anak-anak nakal dengan pengertian seperti yang disampaikan di awal, maka ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Pertama, membangun komunikasi yang baik. Kalau ada yang berulah atau dicap nakal, saya biasa berkomunikasi langsung dan bertanya tentang kesukaan dan seleranya. Tidak langsung mengurus tingkah laku dan perbuatannya. Ternyata mereka mau dan lebih suka diajak bicara. Sehingga mereka lebih terbuka dan mau bicara apa adanya. Sesekali ajak mereka bermain futsal, renang dan sebagainya. Kuncinya: didekati, bukan dijauhi. Karena cap nakal itu memang tak selalu enak untuk didengar. Walaupun sebagian anak jadi riang dan menikmatinya!
Kedua, menjadi mitra terbaik mereka. Dalam proses belajar termasuk di lingkungan asrama, anak bukan saja membutuhkan guru yang aktif mengajar tapi juga jadi mitra belajar. Mereka butuh teman bicara tentang banyak hal. Bukan saja masalah pelajaran atau mungkin kitab kuning tapi juga urusan keluarga di rumah. Misalnya, ada anak yang orangtuanya bercerai, ada juga yang setiap hari cakar-cakaran, dan ada juga yang sudah meninggal. Masalah di rumah yang sudah kompleks itu menjadi tema obrolan saat mereka di sekolah dan asrama. Mereka butuh teman bicara. Di situlah pentingnya guru jadi mitra. Jadilah pendengar yang baik untuk mereka!
Ketiga, menjadi teladan yang baik. Umumnya, anak-anak itu butuh teladan yang baik. Guru dan orangtuanya sama-sama memiliki tanggungjawab yang sama. Jangan sampai saat di sekolah guru mengajarkan anak agar tidak merokok, tapi di rumah justru orangtuanya bukan saja membiarkan tapi juga memperlihatkan pada anaknya bagaimana cara merokok yang ahli. Atau ada juga yang di rumah menjaga shalat lima waktu, tapi saat di sekolah gurunya malas shalat. Nah di sekolah dan rumah anak butuh teladan, bukan teori tapi praktik atau tindakan nyata. Lagi-lagi, anak-anak butuh teladan!
Secara sepintas, dari pengalaman di atas, anak-anak itu butuh selingan, apresiasi dan penguatan. Bahkan juga membutuhkan teman bicara yang peduli dan perhatian. Di samping teladan yang baik. Karena itu para guru juga perlu membaca situasi di luar materi ajar. Sehingga anak merasa diperhatikan, dimiliki dan dicintai. Dan orangtua juga perlu berbenah diri. Jadi teladan yang baik bagi anak, bukan saja dalam hal ibadah tapi juga perilaku. Jangan sampai anaknya lebih suka artis korea daripada orangtuanya. Jangan sampai anaknya lebih bangga menyimpan foto artis dangdut daripada foto bersama orangtuanya!
Hal yang problematik adalah umumnya orangtua merasa dan memahami bahwa mendidik itu hanya kerjaan guru. Ini kesalahan paling fatal dan sangat berbahaya. Apalagi orangtua yang membayar pendidikan anaknya dengan biaya besar, biasanya merasa selesai pekerjaannya karena sudah membayar ini itu di lembaga pendidikan formal. Di sinilah diperlukan adanya penyadaran dini pada orangtua bahwa orangtua adalah pendidik utama dan pertama anak. Sementara guru lembaga pendidikan formal hanya menjalankan peran “membantu”. Mungkin perlu materi parenting “gratisan” bagi para calon ibu dan bapak. Khutbah nikah juga diarahkan ke sana, bukan malah jadi lapak bercanda. (*)